Seiring waktu berdetik menggelitik membawa canda dengan putaran sejarah kelamnya. entah apa yang membawamu kembali dari catatan lampau kala itu.
kau tau, hadirmu kini mengganggu konsentrasiku, tapi auramu membawa arus positif. sosokmu pula yang memaksa penaku tuk keluar dari tempat semedinya
"Bersemi"
Masa lalu itu...
Kembali mengerucut
siring senja menghisap sariku yang kecut
Kembali mengerucut
siring senja menghisap sariku yang kecut
Kau...
Simanis yang ku puja dikala itu
Membusam dibalik lensa antik
Menghilang bersama detik-detik
Yang mengusik malamku
Simanis yang ku puja dikala itu
Membusam dibalik lensa antik
Menghilang bersama detik-detik
Yang mengusik malamku
Sepi...
menjelma tajuk rindu
dikala Mimpi sekilas nyata
menoreh cerita
Akan dilema teka-teki berujung makna
Bahwa kau mulai terasa
Hadir serupa akan angan yang ku bawa
dikala Mimpi sekilas nyata
menoreh cerita
Akan dilema teka-teki berujung makna
Bahwa kau mulai terasa
Hadir serupa akan angan yang ku bawa
Sungguh bilamana sediamu
Menjamah harapku
Mari mendayung di atas bahtera
Berlapis apilan adicita.
Menjamah harapku
Mari mendayung di atas bahtera
Berlapis apilan adicita.
Dangdeur, 18 September 2017.
langkah kaki tak mudah terhenti, perdetik ku mulai menerawang sekelilingku yang mulai tersulap teduhnya bayang-bayang senja dan sebuah keputusan hati tak sanggup tuk menggerakan otot tuk mengetuk perbendaharaan tubuh ini. hingga aku jatuh dalam keputusan yang sejalan, yakni berlindung di balik kerumunan. dengan sengaja pena meminta jeari-jemariku menjamahnya dan meminta tuk menjadikannya saksi hidup akan langkahku.
"Perjalanan Musafir"
Penantian yang terjeda detik luka
Aku Termenung menanti senja merona
Di dekat alun-alun kota sejuta bunga
Ku tatap sekelilingku raut kuyup oleh dahaga
Namun satu yang bercaha
Menanti angan-angan tak kunjung tiba
Lesuh tak bernafsu menadah rindu
Ku tulis alur asmara baru
Dengan tema lupa masa lalu
Kerling tatapanku padanya satu cahaya
Di antara menara alun-alun kota
Bandung, 9 Mei 2017.
Bunga tidurku kala itu mencoba mengusik ketenangandengan senjatanya yang mengkilau dan menjadi angan-angan yang diharapkan. Ku coba tepis, lalu ia tak henti mendatangi dan mengusik kembali, kali ini membawa pasangannya dan menjerumuskanku ke dalam lubang mimpi yang mengharuskan pilihan tuk menjadi pembasmi.
"Liontin"
Sepasang cincin ku mimpikan di pagi hari
Membawa dilema, berteduh pada sanubari
Ia menyapa senandung ratapan hati
Tertati-tati mengejar angan yang berlari
Sepasang cincin berwajah liontin itu bertanya
Seberapa lama cintamu kan menepi?
Dan membiarkan usiamu dirongrong waktu?
Lalu aku sang pemilik hati
Hanya diam menanti jawab terbebas batas waktu
M.S
25, Juli 2017.
Malam kelabu mengikis benak purnama
Setapak demi setapak berderap
Mundur mengendur di benak pemuda
Hampa melanda sanubari tak bersayap
Tanpa sandi pemecah perkara
Sepotong cintanya menepi dari tubir bumi
Namun cermin mata tiada dusta
Hanya panorama wajah senja
Memenuhi sudut-sudut kornea
Meski temaram kadang menghitam
Sang pemuda tak berkutik karena rasa
Pena tak sanggup mengubah alur cerita
Dalih merpati menghempas egonya
Sampai ke tepi dasar jiwa
Mengingat mereka tak mungkin bersama
Kronjo 26 Mei 2017.
"Bayang Rindu"
Sepikul rindu menimang tubuh wanita pedalaman
Dengan pungguk mengendur tergopoh-gopoh kelelahan
Langkahnya tak beraturan
Tak mampu menahan terjalnya perjalanan
Sepikul rindu meruncing hati pedalaman
Sedih menatap bayang-bayang temaram
Memudar, menipis teriris belati zaman
Menyisakan bingkai kejayaan di waktu kelam
yang membias sukma wanita pedalaman
Sepikul rindu menimang kaki pedalaman
Do’anya tersusun menghadap pintu pengabulan
Sujudnya menetap tiada kelenggangan
Tasbihnya berputar seiring roda zaman
Demi pengangkatan rindu di malam yang kelam.
01, Syaban 1438. H
“Mangsa Malam Minggu”
Malamku
Malammu
bukan ini bukanlah milik kita
Siapa sangka jumpa telah bertanda
Di antara pemuda-pemuda dipinggiran kota
Kau tertindih sedih untuk mereka
Melepas alas dada dengan hasrat menerka
Aduh ngilu memandangmu
Istirahatmu terganggu bising desahnya
Mereka sengaja pamer bendera wajahnya
Tanpa malu malu meniru liku-liku Madona
Sekiranya tangismu menderai ulahnya
Mungkin pintamu cukup guncangkan ragamu.
Kota Tangerang, 21 Mei 2017.
langkah kaki tak mudah terhenti, perdetik ku mulai menerawang sekelilingku yang mulai tersulap teduhnya bayang-bayang senja dan sebuah keputusan hati tak sanggup tuk menggerakan otot tuk mengetuk perbendaharaan tubuh ini. hingga aku jatuh dalam keputusan yang sejalan, yakni berlindung di balik kerumunan. dengan sengaja pena meminta jeari-jemariku menjamahnya dan meminta tuk menjadikannya saksi hidup akan langkahku.
"Perjalanan Musafir"
Penantian yang terjeda detik luka
Aku Termenung menanti senja merona
Di dekat alun-alun kota sejuta bunga
Ku tatap sekelilingku raut kuyup oleh dahaga
Namun satu yang bercaha
Menanti angan-angan tak kunjung tiba
Lesuh tak bernafsu menadah rindu
Ku tulis alur asmara baru
Dengan tema lupa masa lalu
Kerling tatapanku padanya satu cahaya
Di antara menara alun-alun kota
Bandung, 9 Mei 2017.
Bunga tidurku kala itu mencoba mengusik ketenangandengan senjatanya yang mengkilau dan menjadi angan-angan yang diharapkan. Ku coba tepis, lalu ia tak henti mendatangi dan mengusik kembali, kali ini membawa pasangannya dan menjerumuskanku ke dalam lubang mimpi yang mengharuskan pilihan tuk menjadi pembasmi.
"Liontin"
Sepasang cincin ku mimpikan di pagi hari
Membawa dilema, berteduh pada sanubari
Ia menyapa senandung ratapan hati
Tertati-tati mengejar angan yang berlari
Sepasang cincin berwajah liontin itu bertanya
Seberapa lama cintamu kan menepi?
Dan membiarkan usiamu dirongrong waktu?
Lalu aku sang pemilik hati
Hanya diam menanti jawab terbebas batas waktu
M.S
25, Juli 2017.
Tak mengerti dengan segala
gejolak ditubuhku. Entah mengapa pena yang ku pegang memintaku melimpahkannya
di atas pundak teman sejatinya yang selalu menampakan keputihan sebagai
fitrahnya.
Malam kelabu mengikis benak purnama
Setapak demi setapak berderap
Mundur mengendur di benak pemuda
Hampa melanda sanubari tak bersayap
Tanpa sandi pemecah perkara
Sepotong cintanya menepi dari tubir bumi
Namun cermin mata tiada dusta
Hanya panorama wajah senja
Memenuhi sudut-sudut kornea
Meski temaram kadang menghitam
Sang pemuda tak berkutik karena rasa
Pena tak sanggup mengubah alur cerita
Dalih merpati menghempas egonya
Sampai ke tepi dasar jiwa
Mengingat mereka tak mungkin bersama
Kronjo 26 Mei 2017.
Baying-bayang wanita tua yang melintas di
hadapanku, menyentuh ingatan kepada sang Mutiara Syurga yang selalu berjuang
tuk menghidupi anaknya hingga kini. Wajahnya tak seindah dulu, mulai terpahat
oleh waktu, tapi aku mengaguminya. Sosok pembangun melebihi motivator hebat,
sosok penolong dikala jatuh, sosok pahlawan yang selalu tersimpan dalam
ingatan. Tak ada bandingan yang bias menggambarkan kesucian hatimu. Bu aku
berpijak dengan langkah-langkah penuh keyakinan, tak lain berkat doamu.
"Bayang Rindu"
Sepikul rindu menimang tubuh wanita pedalaman
Dengan pungguk mengendur tergopoh-gopoh kelelahan
Langkahnya tak beraturan
Tak mampu menahan terjalnya perjalanan
Sepikul rindu meruncing hati pedalaman
Sedih menatap bayang-bayang temaram
Memudar, menipis teriris belati zaman
Menyisakan bingkai kejayaan di waktu kelam
yang membias sukma wanita pedalaman
Sepikul rindu menimang kaki pedalaman
Do’anya tersusun menghadap pintu pengabulan
Sujudnya menetap tiada kelenggangan
Tasbihnya berputar seiring roda zaman
Demi pengangkatan rindu di malam yang kelam.
01, Syaban 1438. H
Sepasang kornea mataku mulai bermasalah dengan
pemandangan di kegelapan. Padahal birahiku menikmati peradegannya. Tapi tidak
dengan nurani, ia tek ingin berkompromi. Bahkan ia segera menarik ku dari tubir
tongkrongan yang tak sewajarnya itu. Mungkin itulah santapan kegelapan malam
Minggu yang dibawa arus westwrnisasi
“Mangsa Malam Minggu”
Malamku
Malammu
bukan ini bukanlah milik kita
Siapa sangka jumpa telah bertanda
Di antara pemuda-pemuda dipinggiran kota
Kau tertindih sedih untuk mereka
Melepas alas dada dengan hasrat menerka
Aduh ngilu memandangmu
Istirahatmu terganggu bising desahnya
Mereka sengaja pamer bendera wajahnya
Tanpa malu malu meniru liku-liku Madona
Sekiranya tangismu menderai ulahnya
Mungkin pintamu cukup guncangkan ragamu.
Kota Tangerang, 21 Mei 2017.
No comments:
Post a Comment