Tuesday, September 26, 2017

Hijrah (cerpen pengukuhan jiwa)

"HIJRAH"
Bintang berpijar beserta rembulan bersikap setia memberi cahaya pada penikmat-penikmat dunia. Gemuruh sound-sound besar menggema di desa-desa, menandkan banyak sekali pesta. Lalulalang pemuda-pemudi dengan gaun elok dan dandanan versi jawa modern menghiasi jalan-jalan perkampungan. Membuat seorang wanita yang berdiam sedikit merasa miris melihatnya. Lantaran banyak di antara mereka yang belum menyandang kata "sah". Wajahnya terlihat tampak kebingungan untuk melangkahkan kaki menghadiri pesta-pesta pernikahan itu. Bagaimana tidak dalam satu pekan ia bisa mendapatkan lima sampai tujuh undangan dari mulai adik kelasnya dulu sampai teman-teman kuliahnya. 
Di bulan September, banyak sekali sepasang kekasih mengikat janji suci sehidup semati yang disaksikan pihak keluarga. maklum di bulan ini sagat diharapkan bagi para penikmat dunia tuk merayakan hajat dan sebagainynya. selagi masih harum akan lebaran haji, ditambah panen padi yang bagus.

"Mbba beli esnya Mba"
"Iyah silahkan duduk Bu"
“Emba kok jagain kios terus, kapan jalan dengan kekasihnya” Goda si pembeli.
“untuk apa Bu jika sekedar mondar-mandir tak jelas, toh mereka yang memegang tangan pasangan mereka malam ini, belum tentu bisa memegang janji suci”

Percakapan pedagang wanita yang terbilang religius itu menggambarkan sikapnya yang tak hobi berjalan-jalan, belanja, dan menghamburkan harta, malah ia lebih sering membantu ibunya berjualan di simpang tiga Murasaba. Setiap pagi ia menjual gado-gado dan minuman dengan ibunya dari mulai pukul 06.30 sampai 15.00. Ia juga melanjutkan pendidikannya ke jenjang kuliah dan mengambil program studi Bahasa dan Sastra Indonesia, meskipun terkadang ia ambil cuti karena tak ada biaya

"Rahmi Ibu mau tanya, apa kau sudah ingin menikah"
"menikah sih ingin Bu, tapi bagaimana kehendak Allah saja" ucap Rahmi sambil mengerinyitkan dahinya dan tersenyum. Tak jarang ibunya menanyakan prihal demikian. Lantarn kepingin anaknya segera mendapatkan jodoh seperti teman-temannya yang hampir semuanya sudah menikah. Ibunya kadang merasa takut jika anaknya terus menerus berjualan tanpa memedulikan laki-laki yang menyukainya. Padahal banyak laki-laki tampan dan cukup mapan yang ingin mempersuntingnya, hanya saja Rahmi belum ingin menikah terburu-buru.

Kesiapan untuk menikah baginya bukan perkara yang main-main. Dibutuhkan kesiapan mental dan rela mengikhlaskan segalanya. Ikhlas menjauhi kebiasaan masa lalun dan ikhlas merelakan semua aktivitas yang tidak disenangi suami, tapi yang terpenting adalah merubah dirinya untuk jadi makmum yang baik dan membawa suami ke jalan syurga Allah. Karena istri solehah merupakan perhiasan dunia yang mampu menarik hasrat suami tuk berjalan lurus atau berjalan dengan liku-liku hawa nafsu.

Hari demi hari Ibu Rahmi memikirkan anaknya yang semakin bertambah usia. Kadang menjadikan anaknya sebagai bahan perbincangan dengan ibu-ibu pembeli untuk dicarikan lelaki yang tepat bagi anaknya. Bukannya Rahmi tak tau akan kelakuan ibunya. Ia pun menyadari bahwa sikap ibunya itu secara tak langsung menginginkan dirinya segera menikah. Yah sebagai pedagang gado-gado sekaligus warung makan kecil kecilan, rahmi tak jarang mendapatkan sindiran berbumbu canda.
"Neng, kapan nih mau undang-undang ibu. Jangan terus-terusan diundang Neng nanti ketinggalan periode loh".
Celotehan seperti itu lah yang mengusik pikirannya. Bagaimana tidak, hampir semua ibu-ibu yang kenal dengannya menanyakan hal serupa. Di tambah Pandangan masyarakat, akan pernikahan itu sebagai investasi berkepanjangan. Jika anak-anak mereka menikah maka amplop berisi lembaran nominal dengan sendirinya berdatangan yang nantinya membuat mereka terciprat harta anaknya. Lalu jika anak mereka perempuan, orang tuanya tak tanggung-tanggung meminta barang bawaan yang banyak, agar anaknya tak repot-repot lagi Membeli perabotan rumah dan mengurangi beban keluarga. Bagi calon pengantin laki-laki mereka mencari kesana kemari sumbangan dari berbagai kerabat dan teman, ada juga yang hanya menanti. tetapi jika belum merasa cukup tuk merayakan pesta, mereka pasti mencari karena biaya menikah tak semurah membeli bawang. Ada yang menyumbang roko, bahan pokok atau uang untuk keperluan yang lainnya. Meski tak semuanya calon mempelai wanita mendapatkan calon suami yang diinginkan. Namun rata-rata masyarakat di kampung Rahmi demikian. Banyak kalangan remaja di lingkungannya yang tergila-gila duduk di pelaminan, mereka tak peduli masa depan mereka setelah menikah, dan hati mereka pun masih banyak yang tidak kokoh dengan pendiriannya. Lantaran umur yang masih terbilang  muda. Alhasil banyak sekali ikatan-ikatan yang terputus begitu saja. Yah perceraian, kata talak dijadikan perkara yang mudah dilontarkan oleh pasangan suami istri sungguh memprihatinkan bagi anak-anak mereka yang sudah menyaksikan gejolak pertengkaran bapak dan ibunya. Itu semua membuktikan mereka lebih mementingkan nafsunya saja ketimbang keharmonisan rumah tangga mereka. Tak memikirkan berapa jumlah biaya yang sudah dikeluarkan saat mengikat janji suci. Syukur-syukur memakai biaya sendiri, terkadang orang tua yang memfasilitasi pernikahannya. Tak hanya dikalangan remaja, bibit-bibit generasi bangsa tepatnya anak sekolah, di era melenium, mengadopsi gaya berpacaran orang asing. Kemesraan yang tak layak bagi pelajar ditonjolkan secara cuma-cuma, mengajak pasangannya wara-wiri dengan pelukan erat saat menaiki roda doa, dan mengunjungi tempat-tempat bernuansa estetis dan romantis dengan bergandengan tangan sesekali berpelukan mencuri kesempatan yang ada, padahal uang yang mereka pakai tidak lain adalah hasil keringat orang tuanya. Kemudian mempublikasikan kemesraan mereka di berbagai media sosial seolah memproklamirkan bahwa dunia ini milik mereka saja dengan caption yang berbau romantis seakan sudah menjadi suatu kesatuan dalam rumah tangga. Belum lagi dikalangan mahasiswa ada beberapa teman Rahmi yang rela bersentuhan dengan pasangannya bahkan ada yang mengaku pernah melakukan hubungan intim. Rahmi pun tak menyangka ada salah satu temannya yang rela melakukan perbuatan keji itu demi pujaan hati yang belum tentu menjadi suaminya. Sekalipun pasti menjadi suaminya, perbuatan zina tetaplah haram, jangankan melakukannya, mendekatinya saja sudah jelas tindakan tercela. Maka dari situlah Rahmi enggan tuk berpacaran ditambah dengan komitmennya yang begitu kuat. Semua fenomena itu terlintas dalam ruang pemikiran Rahmi, ia tak ingin kejadian-kejadian seperti itu mengakar dalam budaya remaja di Negeri Jaya khususnya di kampungnya, maka ia lebih memilih mempersiapkanya matang-matang dan mencari lelaki yang mampu jadi panutan ketimbang menikah hanya bermodalkan cinta.

Senja merona dihadapan wanita anggun dan terhias rapih, wanita itu merasa aneh dengan hatinya yang tiba-tiba gelisah. Lantaran rasa takut menyelimuti kalbu. Ia hawatair apabila tak segera menikah imannya akan dirongrong syetan. Ia sempat melamun di kala genderang malam tiba yang mendekap bulan sehingga tak memancar. Jodoh adalah suatu misteri yang tak ada rumus pemecahannya, mungkin mereka bisa berpacaran dengan siapa saja, dekat, berjalan dengan lelaki mana pun, tapi yang perlu diketahui, yang mereka cintai belum pasti menjadi jodoh. Allah sudah menggariskan jalan hidup manusia di lauhil mahfudznya.
Menikah memanglah suatu kesunahan dari agamanya. Tapi Rasulallah memberi jalan bagi yang belum mampu menikah untuk melaksanakan puasa sunah, dan rahmi menjalankan ritual itu tuk mengurangi syahwat. Tiba-tiba Rasa hawatir Rahmi pada anak-anak remaja yang masih duduk di bangku sekolah semakin bertambah, ketika ia membuka facebook dan melihat berbagai status terkait menikah, dan cinta. Apakah mereka tak memikirkan bagaimana masa depannya atau tak ingin bercita-cita tinggi lalu membanggakan orang tuanya. Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kerangka pikiran Rahmi. Sekali lagi bagi Rahmi menikah itu bukan perkara yang mudah. Tidak seperti memakai sepatu lalu berjalan-jalan seenaknya.
Minggu-minggu berikutnya Rahmi mulai merasa minder dengan teman-temannya yang sudah berkeluarga. Dengan membawa suami mereka pamer kebahagiaan di depan umum. Ada pun yang belum menikah mereka sudah memutuskan hubungan serius dengan pasangannya. Namun rahmi selalu sendiri jika pergi ke acara resepsi pernikahan temannya. kadang diantar oleh ojek online. Teman-temanya pun mempertanyakan dengan nada berbisik-bisik.
“Apa Rahmi tak ingin segera menikah seperti kita?”.
“Entahlah rahmi mungkin ingin fokus dengan kuliahnya”
Iyh mahasiswa jika sudah dipertemukan dengan jodohnya terkadang tak fokus dengan kuliah, apalagi saat ini ia sudah di tahap akhir”.
Itu semua pernah dialami oleh Rahmi sendiri. Kala itu ia masih semester 4 saat menjalin asmara dengan seorang laki-laki dari Fakultas Ekonomi ia lupa dengan tugas-tugas kampus dan tak pernah fokus pada saat jam kuliah berlangsung, yang ada ia selalu menunggu sapaan dan perhatian pacarnya. Waktu liburnya hanya ingin bertamasya berdua lalu menghapus apa yang namanya kerja kelompok. Ia juga sering menolak perintah orang tuanya untuk menunggu kiosnya. Tetapi semua masa lalu kelabu itu, kini sudah ia tinggalkan dan tak ingin ia kembali ke jalan tersebut. Begitulah masa lalu rahmi yang menghantui bayang-bayangnya untuk menjalin asmara. Kini ia mulai berbenah diri, selektif dan berkomitmen. Ia tak ingin menikah, jika kuliahnya belum selesai, dan tak mau berpacaran tanpa ada ikatan yang jelas. Itulah pondasi yang ia pegang erat-erat. Komitmen itu juga yang membuat dirinya menolak laki-laki yang mengutarakan cintanya. Awalnya perubahan Rahmi terbawa oleh arus pergaulan sahabatnya di kampus. Ia diberi motivasi  serta wawasan yang lebih luas akan indahnya Islam, dan sering dihadapkan dengan tontonan beberapa penceramah yang terkemuka dalam urusan agama. Salah satunya Ustad Abdul Somad. Ia selalu teringat akan pemaparan beliau akan sosok wanita solihah, yang mampu menjaga auratnya dari mata lelaki yang bukan mahromnya. "Jika wanita bisa menjaga auratnya di hadapan laki-laki, dia tidak hanya menyelamatkan dirinya saja tetapi sama saja dengan menyelamatkan banayak orang dari api neraka" itu yang masih terngiang dalam benaknya. dan bertutur kata yang baik, serta tidak melakukan zina atau mendekatinya. Perkara jodoh Allah sudah menjelaskannya dalam Al-Quran “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)” QS An-Nur ayat 26. Rahmi setelah mendengar ayat tersebut mulai intropeksi akan dirinya. Apakah ia sudah menjadi wanita yang baik, atau justru menjadi wanita yang keji,

Kesibukan pun mulai mengisi waktu wanita yang sudah berhijrah itu, lusa Rahmi akan diwisuda. Kabar gembira itu telah sampai pada sang Ibu. Ibunya pun sangat bahagia. Terlintas bayang-bayang Rahmi yang dikenakan toga hitam lalu menyandang gelar sarjana. Sesampainya di rumah seorang pemuda melamar anaknya dengan mahar yang jarang didengar oleh kebanyakan wanita. Yakni meminang dengan surat Annisa dan 20 gram emas.

"Bu kok melamun?" tanya Rahmi.
Ibunya hanya senyum-senyum dan memeluk anaknya. Kabar ini juga terdengar oleh laki-laki yang jauh-jauh hari ingin melamarnya setelah Rahmi diwisuda.
           
Esok hari tiba, Rahmi memutuskan menginap di kosant temannya sehingga meminta pamit terlebih dahulu dan meminta ibu dan sanak keluarganya menyusul pagi nanti.
"Bu, jika nanti Rahmi sudah menyandang gelar ini, harapan ibu pasti akan tercapai secepat mungkin. Rahmi pun tak ingin bersembunyi dari dosa yang menggoda iman Bu" janji itu terucap dari mulut wanita yang cantik san syahdu itu. Tak kuasa mendengar anaknya berbicara bersinar mutiara, airmatanya meleleh dan mengalir melintasi pipi yang mulai mengkerut. Pagi itu Rahmi memakai pakaian yang menutupi semua lekuk tubuhnya, dan mengenakan kerudung panjang ukuran XXL agar terlihat rapih dan tidak mengundang syahwat. Ia bertekad untuk berhijrah dari masa lalunya yang tebilang terbawa arus westernisasi. Pagi itu ia mencium tangan ibunya yang jadi penyejuk hati, agar mental dan moralnya terjaga.
"Bu Rahmi meminta izin untuk ke rumah Surtiah dia mau berangkat ke kampus bersama".
"Silahkan mutiaraku, hati-hati yak Nak. ngomong ada keperluan apa lagi ke kampus?"
"mengambil pakaian wisuda Bu untuk dikenakan besok"
      Ibunya tersenyum simpuh ketika Rahmi melangkahkan kaki untuk pergi kerumah temannya. Sayangnya Rahmi tidak diantarkan oleh siapapun. Ia memilih naik angkot karena ingin menghemat uangnya. Sesampainya di jalan raya wanita berkerudung panjang itu menyebrangi jalan yang kala itu ramai oleh truk-truk besar pengangkut tanah. Dengan sangat berhati-hati Rahmi melangkah dengan membaca Bismillah, tapi tak disangka dari arah yang berlawanan terlihat mobil box melaju dengan ugal-ugalan kala itu rahmi tinggal dua atau tiga langkah lagi menaiki angkot, ia hanya fokus pada dzikir yang ia ucapkan beriringan dengan langkahnya, dan saat kakinya mulai menemukan pintu angkot yang hendak ia naiki, mobil box hitam itu menghantam dengan kerasnya dibagian kiri dari angkot. Seketika semua cahaya yang terlintas dalam ingatan Rahmi memudar secara perlahan.“Ashaduanlailahailallah Waashaduanna Muhammadarasulallah” lantunan itulah yang terakhir kali diucapkan wanita mulia itu.


Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam:

"Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah." (HR. Muslim) 


Kota Bumi, 26 September 2017.
Iqbal Qurnawan



No comments:

Post a Comment

Contoh Surat Lamaran Pekerjaan yang Dibutuhkan Oleh Industri dan Instansi

            Surat lamaran pekerjaan merupakan surat resmi yang ditujukan untuk instansi atau lembaga yang bertujuan untuk mendapatkan pekerj...