Catatan Lampau Qomar
dan Ember Pikulan
Suara Al-Quran menghias
kelap-kelip malam. Merangsak masuk ke dalam rumah-rumah melalaui lubang
jendela. Suaranya bagaikan Qori Internasional yang memiliki volume suara yang
tinggi dengan nada khas Qori. Suasana pun mencair dari kepenatan kehidupan,
kebisingan jalanan dan kerusuhan masyarakat.
Entah siapa lelaki yang
membaca syair berkalimat mutiara itu. tiba-tiba hatiku teringat dengan pemuda
berkopiah compang camping dan baju putih sedikit kuning. Suara merdu nan syahdu itu masih ku dengar di
keheningan malam Jumat ini. Padahal seluruh penghuni bilik-bilik reot di
lingkungan yang jauh dari keramaian ini suadah pulas mengarungi mimpi. Betapa
hatiku senang mendengar surat yang ia baca, dengan suara mendayu, dan berinstrumen
klasik seperti tempo dulu.
Tiba-tiba aku terbangun dari tempat
tidurku. melangkahkan kaki ke ruang tamu yang begitu sederhana. hanya ada tiga
kursi dan meja kecil. Aku duduk
menikmati instrumen klasik racikan pemuda itu, sambil meneguk air hangat bekas
tadi sore. Suasana seperti ini mengingatkanku dengan catatan buku masa lalu.
Suasana hening, tak ada orang yang berlalulalang, apalagi yang bermain-maian
tidak jelas. Hanya ada suara jangkrik yang beradu argumen di malam hari.
Ingatanku mulai bernostalgia. Meninjau
halaman-halaman dimana kesusahan, kerapuan, dan kelelahan menimpaku. Tanpa
kedua orang tua yang entah bahagia atau gelisah melihat keadaanku pada waktu
itu. Terkadang aku suka senyum-senyum sendiri bila mengingat masa-masa itu.***
“Qomar, Qomar, di panggil Abah.”
Terdengar suara menggelegar.
“iya, Kang Asep ada apa?” jawabku.
“di panggil Abah, biasa rutinitas meren”
terang Kang Asep yang mengetahui rutinitasku apabila dipanggil Abah setiap pagi
dan sore.
“siap Kang,” sambil berlari seperti
sedang lomba maraton.
Sesampainya di depan rumah Abah, aku
merapihkan pakaianku yang sedikit berantakan karena berlari-lari tadi. Setelah
rapih aku segera mengetuk pintu rumahnya.
“Asalamualaikum Bah” salamku.
“walaikum salam, langsung saja Mar kebelakang.
Di situ ada peralatannya.” Jawab abah dari dalam rumah. Mungkin abah sudah
hafal dengan ciri khas suaraku. Tanpa berfikir panjang aku segera pergi
kebelakang rumah Abah dan mengambil peralatan yang di maksud. Inilah peralatan
rutinitasku, dua ember cat besar dan satu pikulan yang terbuat dari kayu.
Mengemban perintah guru adalah tanggung jawabku sebagai murid, meski
rutinitasku ini terlihat sedikit memalukan, tapi aku ikhlas dan tidak pernah ku
tolak perintah Abah. Kalau dipikir-pikir, jarak yang kutempuh memikul air
sungai ke pesantren sekitar 1 kilo meter, itung-itung amal buatku nanti, toh
yang memakai air ini masyarakat santri yang kesehariannya mengaji, otomatis
sedikit pahalanya berlimpah padaku.
Di perjalanan menuju sungai. Cemohan
selalu kudapat, apalagi celotehan-celotehan warga setempat, yang terkadang
mengerjaiku dengan berbagai macam. Tapi ku anggap itu semua serpihan krikil
yang tak mungkin ku hentikan langkahku. Maklum warga sini belum sadar betapa
berharganya sosok santri. Mreka hanya mengingninkan anak-anaknya bekerja di
pabrik-pabrik, parlemen dan menjadi pengusaha. Padahal semua itu, apabila tidak
di dasari dengan Agama, akan terbawa arus duniawi yang selalu menggrogoti iman
manusia.
Terkadang nafsuku menghasut nuraniku
agar menolak perintah Abah, tapi berat jiwaku ini menolak perintah Sang Kiyai
sekaligus orang yang memberiku makan selama ini. sudahlah ku jalani saja hidup
ini. aku yakin ada hikmah dibalik semuanya.
Sambil melamuni kegiatanku diperjalanan,
tiba-tiba sungai sudah di depan mata. Aku seperti melihat mutiara yang mengalir
dengan berkilau. Segera ku mendekati tempat yang berbatu, agar aku bisa
menginjakkan kakiku dan tidak tergelincir ke sungai. Ku ambil ember cat yang
pertama segera ku isi dengan air jernih. Setelah terisi penuh ku ambil satu
lagi.
“akhirnya terisi juga ember-ember ini”
kata hatiku.
Setelah ember-ember terisi penuh. ku
melihat Daratan seperti memapahku agar segera kembali ke pesantren. Mungkin ia
mengerti betapa pentingnya air-air ini bagi Abah dan juga santri. “Oh iya lupa,
aku harus 3 kali bulak balik sungai jika ingin kolam kamar mandi terisi penuh.”
kataku sambil menepuk jidat. Astaga,
hari ini jam 5 sore ada pengajian dengan Abah. Aku harus segera kembali, karena
jika sampai melewatkan pengajian nanti sore, aku merasa ada gunung yang
menimpaku. Meski pun Aku sring terlambat.
Baiklah, aku butuh tenaga ekstra, hatiku juga
terkadang menjadi motivator di saat waktu menghimpit dan menjepit seperti ini.
“Ayo Qomar, ingat jasa kiyai untuk santri dan untukmu, jika air yang kau pikul
dalam bingkaian ember-ember itu bermanfaat, pahala akan selalu mengaliri langkahmu”.
Semangat pejuang selalu tumbuh dalam jiwa, jika Abah terbayang-bayang dalam
benakku.
Dua ember pertama sudah sampai di kamar
mandi santri, yang jauh dari kata mewah. Cuma ada dua kolam seukuran meja
sekolah. Keringatku menetes, tercampur air sisa di kolam. Tubuh ini mulai lesuh.
Kutuangkan ember pertama, sampai habis. Nafas yang menguendus-endus memaksaku
beristirahat sejenak. Setelah beberapa, menit ku tuangkan lagi ember yang masih
terisi air itu. Padahal perutku belum terisi nasi sedikit pun, tapi ingatanku
meruncing pada Abah, sebentar lagi mungkin lurah mengkentong kentrongan
menandakan jam mengaji akan di mulai. Perasaanku bercampur aduk antara tanggung
jawab dan jadwal pengajian mana yang harus aku pilih. Tapi, bagiku perintah
Abah adalah segalanya setelah perintah Allah dan Rasulallah. Untungnya aku
sudah menunaikan salat asar, sebelum memenuhi perintah Abah. Tanpa ambil
pusing, aku pergi ke sungai untuk yang kedua kalinya. Jika air kolam ini tidak
terisi penuh, nanti para santri tidak bisa solat berjamaah dan mengaji.
Terkadang aku membayangkan ember dan
pikulan kayu ini, sudah seperti teman-temanku, mereka layaknya kekasih yang
enggan berpisah dengan pasangannya. Mungkin sewaktu ketika mereka akan rapuh,
keropos, luntur, bahkan pecah, layaknya manusia yang terpahat oleh waktu. Entah
siapa di antaraku dan mereka yang musnah terlebih dahulu yang jelas mereka
sudah ku anggap teman kerjaku dalam memnuhi perintah Abah. Tak terasa Dua ember
air putaran kedua pun, sudah ku ambil dari sungai itu, “semoga bisa terisi
meski hanya setengah”kata hatiku. Kuturunkan ember-emeber cat itu. Jemari yang
sudah sedikit keriput bekas memikul dan terkena air sungai, mencengkram
pegangan embernya dan ku tuangkan ke kolam yang terlihat tersenyum karena isi
perutnya akan penuh dengan air-air sungai bersih nan jernih ini.
“Alhamdulillah” ucapku sambil merapihkan sarung yang agak kedodoran. Melihat
pakaian yang aku kenakan, sedikit basah dan nampak kotor. Mungkin aku ke kamar
terlebih dahulu untuk mengganti pakaianku dengan pakaian yang lain. Masih tersisa
dua potong pakaian yang bersih. Sebelum aku kekamar aku menuangkan air
secukupnya untuk berwudu, supaya nanti bisa langsung mengaji pada Abah dan tak
repot-repot lagi mengambil air wudu. Antriannya sangat panjang jika mengambil air wudu pada
detik-detik magrib datang. Makannya aku putuskan untuk berwudu sekarang. Kata
Umi sih, bukan santri namanya kalau tidak mengantri.
Sesampainya
di kamar, tidak ada satu pun penghuni gubuk-gubuk reot ini. Biasanya jika
semuanya ada di kamar, suara terompet malaikat pun kalah dengan suara-suara
mengaji. Apalagi suara lurah pondok. Jika jam istirahat, Kang Asep alias lurah
pondok, mengumandangkan bait-bait Al-Quran dengan nada-nada bayati, hijaz dan
jiharkah. Wajar, ia termasuk kori andalan di pesantrenku. Tapi ada juga santri
yang hobi hardolin kata bahasa Sundanya, dahar, modol, ulin. Tidak ada kerjaan
lagi selain makan, menabung di tolet, dan bermain. “aaah sudahlah, mereka punya
jalan hidupnya masing masing, tidak usah kupikirkan apalagi sampai
dipermasahkan” hatiku menggerutu. ***
Tiba-tiba
ingatan catatan masa laluku terpotong dengan suara halus tak berduri. “Bi, Abi,
sudah jangan melamun seperti itu, di masjid sudah tarhim, mungkin sebentar lagi
azan akan berkumandang” nasihat wanita halalku. Ternyata mengingat catatan
manis itu, tak terasa mengantarkanku pada waktu subuh, oh nikmatnya. Ku ambil
pakaian rutinitasku yang sudah berubah dengan perpaduan sutra, tak nampak
lesuh, bahkan halus, tak lupa dengan kopiah hitam berukuran 9 centi meter. “Mi,
Abi kemasjid”. Tapi tak ada sautan manis dari wanita halalku, mungkin ia sedang
melaksanakan salat sunah, ya, sudahlah.
Fajar
nampak tersenyum melihat sebagian manusia masih ingat dengan Sang Pencipta. Ayam-ayam
berkokok meriah di pagi hari menyapa dan membalas senyuman hangat sang fajar,
jangkrik-jangkrik mulai beristirahat berganti dengan burung-burung greja yang
berkicau dengan volume rendah tapi konsisten berbunyi. Meraba kornea mata tuk
membuka jendela keimanan. Setelah salat subuh, ku duduk di depan rumah yang
jauh dari kata mewah. Sambil membaca-buku pemberian seseorang yang begitu
berharga bagi kehidupanku. Aku mulai mengingat-ingat kembali masa-masa itu,
urat-urat syarfku masih bergelantungan rapih pada tempatnya. Nampaknya aku
masih ingat kejadian yang membuat wajahku merah karena malu. Bukan hanya
sekali, bahkan berkali-kali ku alami.***
“An Abdillah Ibni Amrin, kola, kola
Rasulallahu Salallahu Alaihi Wasalam. Ridhallahi firidholwalidaini wasukhtullahi
fisukhtilwalidayni” ingat anak-anakku sekalian, tentang Hadits ini,
bahwasannya ridho Allah terletak pada ridho kedua orang tua dan murka Allah pun
terletak pada murkanya orang tua. Tanpa jasa mereka, kalin mungkin tidak bisa
tumbuh sebesar ini, setampan ini, secantik ini, bisa berpakaian dan bisa
membaca. Itu semua jasa yang takan mungkin bisa kalian lunasi jasanya. Maka
kesimpulan sore ini, hormati, lindungi, sayangi, dan cintai kedua orang tua
kalian. Karean waktu sudah menjelang magrib marilah kita membaca doa penutup,
perintah Abah pada santriawan dan santriawati.
“Assalamualaikum” salamku, tanpa merasa
malu layaknya orang yang ingin mempunyai ilmu dengan belajar
bersungguh-sungguh. Tapi, sepertinya ada yang aneh dengan santri-santri, melihatku
dengan menahan tawa yang meluap di batin mereka. Apa ada yang salah dengan
penampilanku atau dengan kopiahku. Ahh mungkin ini Cuma kekaguman mereka
padaku. Ketika aku menuju tempat duduk Abah untuk bersalaman karna takdzimku
pada beliau, Abah segera mengucapkan kalimat
“wallahu alamu bisawab” menandakan
pengajian sudah beakhir.
Santriawan dan santriawati pun tak kuasa
lagi menahan tawa mereka. Bahkan ada yang tertawa sambil memegangi perut dan
ada juga yang menutupi wajah. Aku pun merasa malu bukan main lagi, wajahku
memerah, seolah aliran darah tersumbat di wajah ini, dan urat ndiku seperti
hendak terputus karna menahan rasa malu. Sejenak ku menahan langkah sambil
merunduk dan tersenyum malu. Tapi ku lanjutkan menjabat tangan Abah dan
menciumnya. “punten Bah, baru selesai mengisi air kolam” terangku.
“Samuhun, ngarti Abah oge Mar” jawab
Abah yang menetramkan gemuruh di hatiku.
Santriawan dan santriawati satu persatu
mulai meninggalkan majlis tapi di antara mereka masih ada yang tertawa ria
seperti mendapatkan sebuah lelucon yang dibawakan pelawak ternama. Sedangkan
aku masih duduk merunduk di depan Abah, begitu pula dengan Abah. Ia menatapku
dengan kilauan mata yang bening, hingga sukmaku merasa bingung. “apakah Abah
hendak memarahiku, atau menasihatiku agar lebih giat lagi” tanya hatiku.
“Qomar, meski engkau ini bodoh, lapuk, dan jarang
mengikuti pengajian karena mengisi kolam. Abah melihat perbuatnmu itu ikhlas
tanpa pamrih Mar. Almarhum ayahmu pernah berpesan agar engkau ini kelak bisa
menjadi anak yang penurut, saleh dan Sabar. Meski Abah suka memarahi kamu jika
kamu lalai, itu semua bentuk kasih sayang Abah pada mu. Jangan kau anggap Abah
ini membencimu, salah kau Mar” nasihatnya menghilangkan rasa lelahku. Bait
katanya bagaikan mutiara yang tak ternilai harganya. Bahkan jika ada yang
menukar nasihat Abah dengan intan berlian sekali pun, Aku tak akan menukarnya.
“Tapi Ingat Mar, Abah sangat rida, dan
ikhlas padamu dalam memnerikan ilmu Abah. Kau memang sering terlambat dalam
mengaji. Tapi lihat Mar, lima tahu kemudian. Siapa yang berdiri di
mimbar-mimbar masjid dan mengisi ceramah di majlis-majlis talim”pungkas Abah.
Aku haya menunduk, dan menganggukan
kepalaku. Aku tak kuasa menahan air yang mengalir melintasi pipiku dan jatuh ke
lantai. Aku memikirkan yang di bait-bait kalimat yang keluar dari mulut Abah
sekaligus Pak Kiyai. “Apa mungkin ragaku ini mampu berdiri di hadapan orang
banyak, sedangkan aku ini orang yang terbilang cukup bodoh dan minim ilmu.”
Gerutu hatiku.
“samuhun Abah, Qomar tak ada henti
meminta ke Gusti Allah semoga Qomar sanggup dan mampu menjadi orang yang
bermanfaat bagi umat. Qomar juga mminta doanya Bah semoga ilmu Qomar berkah
meski sedikit” pintaku.
“pasti,Mar pasti. Sambil mengelus
kepalaku. Magrib Mar, gera ke masjid”
pinta Abah.
Aku pun berdiri dan bersalaman dengan
Abah. “Asalamualaikum”
“Walaikum salam”. ***
Catatan itu seolah hidup dan menyelimuti
sel-sel pikiran dalam ingatan otakku. Terlalu manis masa-masa dengan Abah .
seorang kiyai, motivator sekaligus orang tua bagiku. Masih banyak
catatan-catatan lelah susah dan payah keseharianku. Ingin ku putar kembali
ingatan ini. namun seorang pemuda berkopiah hitam sedikit miring dan berpakaian
compang camping mendekatiku yang sedang duduk sambil memegang buku di depan
rumah. wajahnya selalu menunduk kebawah seperti ada uang receh yang terjatuh.
Ketika tepat berdiri di hadapanku, Ia menjabat tanganku untuk besalaman. Tak
tanggung-tanggung tanganku diciumnya tiga kali bolak-balik.
“Punten Kiyai, mimbarnya sudah di
siapkan untuk pengajian bada subuh”...
Kronjo, 25 Oktober 2016.
Tentang Penulis
Tentang Penulis
Iqbal
Qurnawan, lahir di Tangerang 06-07-1996. Mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Tangerang, Jurusan Bahasa dan Satra Indonesia, Tinggal di Pasir Kronjo, Kab. Tangerang Banten. mulai menulis sejak tahun 2015. membuat cerpen "qomar dan ember pikulan" teringat dari kishnya menjadi santri.
Pesan:
Menulislah dengan kontinuitas dan produktivitas, agar hidupmu tidak
tersendat bisingnya fenomena yang mencuat.
No comments:
Post a Comment