Monday, September 18, 2017

Cerpen Santri (ISO ORA ISO SING PENTING MAJU)



Catatan Lampau Qomar dan Ember Pikulan

Suara Al-Quran menghias kelap-kelip malam. Merangsak masuk ke dalam rumah-rumah melalaui lubang jendela. Suaranya bagaikan Qori Internasional yang memiliki volume suara yang tinggi dengan nada khas Qori. Suasana pun mencair dari kepenatan kehidupan, kebisingan jalanan dan kerusuhan masyarakat.
Entah siapa lelaki yang membaca syair berkalimat mutiara itu. tiba-tiba hatiku teringat dengan pemuda berkopiah compang camping dan baju putih sedikit kuning.  Suara merdu nan syahdu itu masih ku dengar di keheningan malam Jumat ini. Padahal seluruh penghuni bilik-bilik reot di lingkungan yang jauh dari keramaian ini suadah pulas mengarungi mimpi. Betapa hatiku senang mendengar surat yang ia baca, dengan suara mendayu, dan berinstrumen klasik seperti tempo dulu.
Tiba-tiba aku terbangun dari tempat tidurku. melangkahkan kaki ke ruang tamu yang begitu sederhana. hanya ada tiga kursi dan meja kecil.  Aku duduk menikmati instrumen klasik racikan pemuda itu, sambil meneguk air hangat bekas tadi sore. Suasana seperti ini mengingatkanku dengan catatan buku masa lalu. Suasana hening, tak ada orang yang berlalulalang, apalagi yang bermain-maian tidak jelas. Hanya ada suara jangkrik yang beradu argumen di malam hari.
Ingatanku mulai bernostalgia. Meninjau halaman-halaman dimana kesusahan, kerapuan, dan kelelahan menimpaku. Tanpa kedua orang tua yang entah bahagia atau gelisah melihat keadaanku pada waktu itu. Terkadang aku suka senyum-senyum sendiri bila mengingat masa-masa itu.***
“Qomar, Qomar, di panggil Abah.” Terdengar suara menggelegar.
“iya, Kang Asep ada apa?” jawabku.
“di panggil Abah, biasa rutinitas meren” terang Kang Asep yang mengetahui rutinitasku apabila dipanggil Abah setiap pagi dan sore.
“siap Kang,” sambil berlari seperti sedang lomba maraton.

Sesampainya di depan rumah Abah, aku merapihkan pakaianku yang sedikit berantakan karena berlari-lari tadi. Setelah rapih aku segera mengetuk pintu rumahnya.
“Asalamualaikum Bah” salamku.
“walaikum salam, langsung saja Mar kebelakang. Di situ ada peralatannya.” Jawab abah dari dalam rumah. Mungkin abah sudah hafal dengan ciri khas suaraku. Tanpa berfikir panjang aku segera pergi kebelakang rumah Abah dan mengambil peralatan yang di maksud. Inilah peralatan rutinitasku, dua ember cat besar dan satu pikulan yang terbuat dari kayu. Mengemban perintah guru adalah tanggung jawabku sebagai murid, meski rutinitasku ini terlihat sedikit memalukan, tapi aku ikhlas dan tidak pernah ku tolak perintah Abah. Kalau dipikir-pikir, jarak yang kutempuh memikul air sungai ke pesantren sekitar 1 kilo meter, itung-itung amal buatku nanti, toh yang memakai air ini masyarakat santri yang kesehariannya mengaji, otomatis sedikit pahalanya berlimpah padaku.
Di perjalanan menuju sungai. Cemohan selalu kudapat, apalagi celotehan-celotehan warga setempat, yang terkadang mengerjaiku dengan berbagai macam. Tapi ku anggap itu semua serpihan krikil yang tak mungkin ku hentikan langkahku. Maklum warga sini belum sadar betapa berharganya sosok santri. Mreka hanya mengingninkan anak-anaknya bekerja di pabrik-pabrik, parlemen dan menjadi pengusaha. Padahal semua itu, apabila tidak di dasari dengan Agama, akan terbawa arus duniawi yang selalu menggrogoti iman manusia.
Terkadang nafsuku menghasut nuraniku agar menolak perintah Abah, tapi berat jiwaku ini menolak perintah Sang Kiyai sekaligus orang yang memberiku makan selama ini. sudahlah ku jalani saja hidup ini. aku yakin ada hikmah dibalik semuanya.
Sambil melamuni kegiatanku diperjalanan, tiba-tiba sungai sudah di depan mata. Aku seperti melihat mutiara yang mengalir dengan berkilau. Segera ku mendekati tempat yang berbatu, agar aku bisa menginjakkan kakiku dan tidak tergelincir ke sungai. Ku ambil ember cat yang pertama segera ku isi dengan air jernih. Setelah terisi penuh ku ambil satu lagi.
“akhirnya terisi juga ember-ember ini” kata hatiku.
Setelah ember-ember terisi penuh. ku melihat Daratan seperti memapahku agar segera kembali ke pesantren. Mungkin ia mengerti betapa pentingnya air-air ini bagi Abah dan juga santri. “Oh iya lupa, aku harus 3 kali bulak balik sungai jika ingin kolam kamar mandi terisi penuh.”  kataku sambil menepuk jidat. Astaga, hari ini jam 5 sore ada pengajian dengan Abah. Aku harus segera kembali, karena jika sampai melewatkan pengajian nanti sore, aku merasa ada gunung yang menimpaku. Meski pun Aku sring terlambat.
 Baiklah, aku butuh tenaga ekstra, hatiku juga terkadang menjadi motivator di saat waktu menghimpit dan menjepit seperti ini. “Ayo Qomar, ingat jasa kiyai untuk santri dan untukmu, jika air yang kau pikul dalam bingkaian ember-ember itu bermanfaat, pahala akan selalu mengaliri langkahmu”. Semangat pejuang selalu tumbuh dalam jiwa, jika Abah terbayang-bayang dalam benakku.
Dua ember pertama sudah sampai di kamar mandi santri, yang jauh dari kata mewah. Cuma ada dua kolam seukuran meja sekolah. Keringatku menetes, tercampur air sisa di kolam. Tubuh ini mulai lesuh. Kutuangkan ember pertama, sampai habis. Nafas yang menguendus-endus memaksaku beristirahat sejenak. Setelah beberapa, menit ku tuangkan lagi ember yang masih terisi air itu. Padahal perutku belum terisi nasi sedikit pun, tapi ingatanku meruncing pada Abah, sebentar lagi mungkin lurah mengkentong kentrongan menandakan jam mengaji akan di mulai. Perasaanku bercampur aduk antara tanggung jawab dan jadwal pengajian mana yang harus aku pilih. Tapi, bagiku perintah Abah adalah segalanya setelah perintah Allah dan Rasulallah. Untungnya aku sudah menunaikan salat asar, sebelum memenuhi perintah Abah. Tanpa ambil pusing, aku pergi ke sungai untuk yang kedua kalinya. Jika air kolam ini tidak terisi penuh, nanti para santri tidak bisa solat berjamaah dan mengaji.

       Terkadang aku membayangkan ember dan pikulan kayu ini, sudah seperti teman-temanku, mereka layaknya kekasih yang enggan berpisah dengan pasangannya. Mungkin sewaktu ketika mereka akan rapuh, keropos, luntur, bahkan pecah, layaknya manusia yang terpahat oleh waktu. Entah siapa di antaraku dan mereka yang musnah terlebih dahulu yang jelas mereka sudah ku anggap teman kerjaku dalam memnuhi perintah Abah. Tak terasa Dua ember air putaran kedua pun, sudah ku ambil dari sungai itu, “semoga bisa terisi meski hanya setengah”kata hatiku. Kuturunkan ember-emeber cat itu. Jemari yang sudah sedikit keriput bekas memikul dan terkena air sungai, mencengkram pegangan embernya dan ku tuangkan ke kolam yang terlihat tersenyum karena isi perutnya akan penuh dengan air-air sungai bersih nan jernih ini. “Alhamdulillah” ucapku sambil merapihkan sarung yang agak kedodoran. Melihat pakaian yang aku kenakan, sedikit basah dan nampak kotor. Mungkin aku ke kamar terlebih dahulu untuk mengganti pakaianku dengan pakaian yang lain. Masih tersisa dua potong pakaian yang bersih. Sebelum aku kekamar aku menuangkan air secukupnya untuk berwudu, supaya nanti bisa langsung mengaji pada Abah dan tak repot-repot lagi mengambil air wudu. Antriannya sangat  panjang jika mengambil air wudu pada detik-detik magrib datang. Makannya aku putuskan untuk berwudu sekarang. Kata Umi sih, bukan santri namanya kalau tidak mengantri.
            Sesampainya di kamar, tidak ada satu pun penghuni gubuk-gubuk reot ini. Biasanya jika semuanya ada di kamar, suara terompet malaikat pun kalah dengan suara-suara mengaji. Apalagi suara lurah pondok. Jika jam istirahat, Kang Asep alias lurah pondok, mengumandangkan bait-bait Al-Quran dengan nada-nada bayati, hijaz dan jiharkah. Wajar, ia termasuk kori andalan di pesantrenku. Tapi ada juga santri yang hobi hardolin kata bahasa Sundanya, dahar, modol, ulin. Tidak ada kerjaan lagi selain makan, menabung di tolet, dan bermain. “aaah sudahlah, mereka punya jalan hidupnya masing masing, tidak usah kupikirkan apalagi sampai dipermasahkan” hatiku menggerutu. ***
            Tiba-tiba ingatan catatan masa laluku terpotong dengan suara halus tak berduri. “Bi, Abi, sudah jangan melamun seperti itu, di masjid sudah tarhim, mungkin sebentar lagi azan akan berkumandang” nasihat wanita halalku. Ternyata mengingat catatan manis itu, tak terasa mengantarkanku pada waktu subuh, oh nikmatnya. Ku ambil pakaian rutinitasku yang sudah berubah dengan perpaduan sutra, tak nampak lesuh, bahkan halus, tak lupa dengan kopiah hitam berukuran 9 centi meter. “Mi, Abi kemasjid”. Tapi tak ada sautan manis dari wanita halalku, mungkin ia sedang melaksanakan salat sunah, ya, sudahlah.
            Fajar nampak tersenyum melihat sebagian manusia masih ingat dengan Sang Pencipta. Ayam-ayam berkokok meriah di pagi hari menyapa dan membalas senyuman hangat sang fajar, jangkrik-jangkrik mulai beristirahat berganti dengan burung-burung greja yang berkicau dengan volume rendah tapi konsisten berbunyi. Meraba kornea mata tuk membuka jendela keimanan. Setelah salat subuh, ku duduk di depan rumah yang jauh dari kata mewah. Sambil membaca-buku pemberian seseorang yang begitu berharga bagi kehidupanku. Aku mulai mengingat-ingat kembali masa-masa itu, urat-urat syarfku masih bergelantungan rapih pada tempatnya. Nampaknya aku masih ingat kejadian yang membuat wajahku merah karena malu. Bukan hanya sekali, bahkan berkali-kali ku alami.***
            “An Abdillah Ibni Amrin, kola, kola Rasulallahu Salallahu Alaihi Wasalam. Ridhallahi firidholwalidaini wasukhtullahi fisukhtilwalidayni” ingat anak-anakku sekalian, tentang Hadits ini, bahwasannya ridho Allah terletak pada ridho kedua orang tua dan murka Allah pun terletak pada murkanya orang tua. Tanpa jasa mereka, kalin mungkin tidak bisa tumbuh sebesar ini, setampan ini, secantik ini, bisa berpakaian dan bisa membaca. Itu semua jasa yang takan mungkin bisa kalian lunasi jasanya. Maka kesimpulan sore ini, hormati, lindungi, sayangi, dan cintai kedua orang tua kalian. Karean waktu sudah menjelang magrib marilah kita membaca doa penutup, perintah Abah pada santriawan dan santriawati.
“Assalamualaikum” salamku, tanpa merasa malu layaknya orang yang ingin mempunyai ilmu dengan belajar bersungguh-sungguh. Tapi, sepertinya ada yang aneh dengan santri-santri, melihatku dengan menahan tawa yang meluap di batin mereka. Apa ada yang salah dengan penampilanku atau dengan kopiahku. Ahh mungkin ini Cuma kekaguman mereka padaku. Ketika aku menuju tempat duduk Abah untuk bersalaman karna takdzimku pada beliau, Abah segera mengucapkan kalimat
“wallahu alamu bisawab” menandakan pengajian sudah beakhir.
Santriawan dan santriawati pun tak kuasa lagi menahan tawa mereka. Bahkan ada yang tertawa sambil memegangi perut dan ada juga yang menutupi wajah. Aku pun merasa malu bukan main lagi, wajahku memerah, seolah aliran darah tersumbat di wajah ini, dan urat ndiku seperti hendak terputus karna menahan rasa malu. Sejenak ku menahan langkah sambil merunduk dan tersenyum malu. Tapi ku lanjutkan menjabat tangan Abah dan menciumnya. “punten Bah, baru selesai mengisi air kolam” terangku.
“Samuhun, ngarti Abah oge Mar” jawab Abah yang menetramkan gemuruh di hatiku.
Santriawan dan santriawati satu persatu mulai meninggalkan majlis tapi di antara mereka masih ada yang tertawa ria seperti mendapatkan sebuah lelucon yang dibawakan pelawak ternama. Sedangkan aku masih duduk merunduk di depan Abah, begitu pula dengan Abah. Ia menatapku dengan kilauan mata yang bening, hingga sukmaku merasa bingung. “apakah Abah hendak memarahiku, atau menasihatiku agar lebih giat lagi” tanya hatiku.
“Qomar,  meski engkau ini bodoh, lapuk, dan jarang mengikuti pengajian karena mengisi kolam. Abah melihat perbuatnmu itu ikhlas tanpa pamrih Mar. Almarhum ayahmu pernah berpesan agar engkau ini kelak bisa menjadi anak yang penurut, saleh dan Sabar. Meski Abah suka memarahi kamu jika kamu lalai, itu semua bentuk kasih sayang Abah pada mu. Jangan kau anggap Abah ini membencimu, salah kau Mar” nasihatnya menghilangkan rasa lelahku. Bait katanya bagaikan mutiara yang tak ternilai harganya. Bahkan jika ada yang menukar nasihat Abah dengan intan berlian sekali pun, Aku tak akan menukarnya.
“Tapi Ingat Mar, Abah sangat rida, dan ikhlas padamu dalam memnerikan ilmu Abah. Kau memang sering terlambat dalam mengaji. Tapi lihat Mar, lima tahu kemudian. Siapa yang berdiri di mimbar-mimbar masjid dan mengisi ceramah di majlis-majlis talim”pungkas Abah.
Aku haya menunduk, dan menganggukan kepalaku. Aku tak kuasa menahan air yang mengalir melintasi pipiku dan jatuh ke lantai. Aku memikirkan yang di bait-bait kalimat yang keluar dari mulut Abah sekaligus Pak Kiyai. “Apa mungkin ragaku ini mampu berdiri di hadapan orang banyak, sedangkan aku ini orang yang terbilang cukup bodoh dan minim ilmu.” Gerutu hatiku.
“samuhun Abah, Qomar tak ada henti meminta ke Gusti Allah semoga Qomar sanggup dan mampu menjadi orang yang bermanfaat bagi umat. Qomar juga mminta doanya Bah semoga ilmu Qomar berkah meski sedikit” pintaku.
“pasti,Mar pasti. Sambil mengelus kepalaku. Magrib Mar, gera ke masjid” pinta Abah.
Aku pun berdiri dan bersalaman dengan Abah. “Asalamualaikum”
“Walaikum salam”. ***

          Catatan itu seolah hidup dan menyelimuti sel-sel pikiran dalam ingatan otakku. Terlalu manis masa-masa dengan Abah . seorang kiyai, motivator sekaligus orang tua bagiku. Masih banyak catatan-catatan lelah susah dan payah keseharianku. Ingin ku putar kembali ingatan ini. namun seorang pemuda berkopiah hitam sedikit miring dan berpakaian compang camping mendekatiku yang sedang duduk sambil memegang buku di depan rumah. wajahnya selalu menunduk kebawah seperti ada uang receh yang terjatuh. Ketika tepat berdiri di hadapanku, Ia menjabat tanganku untuk besalaman. Tak tanggung-tanggung tanganku diciumnya tiga kali bolak-balik.
“Punten Kiyai, mimbarnya sudah di siapkan untuk pengajian bada subuh”...


Kronjo, 25 Oktober 2016.




Tentang Penulis

Iqbal Qurnawan, lahir di Tangerang 06-07-1996. Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Tangerang, Jurusan Bahasa dan Satra Indonesia, Tinggal di Pasir Kronjo, Kab. Tangerang Banten. mulai menulis sejak tahun 2015.  membuat cerpen "qomar dan ember pikulan" teringat dari kishnya menjadi santri.
Pesan: Menulislah dengan kontinuitas dan produktivitas, agar hidupmu tidak tersendat bisingnya fenomena yang mencuat.
 

No comments:

Post a Comment

Contoh Surat Lamaran Pekerjaan yang Dibutuhkan Oleh Industri dan Instansi

            Surat lamaran pekerjaan merupakan surat resmi yang ditujukan untuk instansi atau lembaga yang bertujuan untuk mendapatkan pekerj...