Jejak
Kaum Minoritas Muslim Rohingya
Jejak-jejak
berlumur darah masih terasa menempel di telapak kaki mereka, keringat yang
membasahi sekujur tubuh bukan berarti gugur setelah berolahraga tapi menahan
takut yang berhadapan dengan selaras panjang. Angin berhembus tak mampu meredam
gemetar tubuhnya apalagi menormalkan detak jantung mereka. Was-was, risih,
takut, pilu, bercampur padu menjadi penderitaan yang tak habis-habisnya. Pembantaian
nyawa yang tak berdosa bukan panorama yang baru, sudah berangsur-angsur seiring
peradaban zaman pemandangan itu menghiasi daerah yang dikucilkan itu. Suatu daerah
yang berpenduduk muslim tapi sebagai minoritas bukan mayoritas. Daerah itu
diakui dalam suatu kesatuan Negara Myanmar namun petinggi negara hanya terdiam
melihat kejadian-kejadian yang ada di daerah tersebut. Negara yang terletak di
Asia Tenggara, dikelilingi beberapa Negara dari bagian utara Negara ini
berbatasan dengan China dan India. Di sebelah selatan berbatasan dengan Teluk
Banggala dan Thailand. Sebelah timur bebatasan dengan China, Laos dan Thailand.
Sebelah barat berbatasan dengan Teluk Banggala dan Bangladesh. Tapi bentuk solideritas
antar Negara temaram adanya lantaran Negara-negara tersebut hanya bisa
menyaksikan penderitaan kaum itu, bahkan Myanmar pun yang merupakan rumah
mereka hanya bisa terpaku dan acuh.
Jika
mereka diperkenankan memilih oleh Tuhan, tak akan ada yang ingin tinggal di
Rohingya daerah yang menjadi bulan-bulanan pemerintah dan kaum mayoritas. Bahkan mereka dianggap sebagai imigran muslim illegal
asal Bangladesh. Tapi ini suatu suratan yang diterima oleh meraka, menjadi kaum
minoritas di negeri itu. Mereka ingin tinggal di negeri Khayalan seperti
Indonesia, yang menjunjung tinggi toleransi beragama. Mereka ingin inggal di
daerah yang terlindung dari ancaman nyawa layaknya Singapur. Bukan di Negara yang
menikam rakyatnya sendiri.
Setiap
menit dalam pikiran mereka hanya bertahan hidup dan selalu mendekap keyakinannya.
Mereka mengharapkan dunia menyaksikan penderitaan yang begitu memilukan dan tak
hanya diam tapi memberi uluran tangan. Konon dunia memiliki asosiasi
perdamaian, tapi ketika hak asasi manusia mereka terenggut siapa yang angkat
bicara dan membela mereka tak ada. Hanya segelintiran orang saja yang rela
mengulurkan tangannya. Harapan mereka pun muncul tergantungkan pada wanita
perkasa yang menyandang Nobel Perdamaian pada tahun 1991. Yang diidam-idamkan
kaum tersebut.
“semoga
ini menjadi awal perdamaian dan kesejahteraan kaumnya” ucap salah satu pemuda
yang berpengaruh di kaum itu.
Harapan
itu pupus dan robek dari hati mereka ketika anak-anak mereka dibunuh dengan sadisnya,
orang tua mereka dipenggal lehernya, gadis-gadis perawan diperkosa dengan
ganasnya. Timah panas menjadi bahan mainan yang siap ditembakan pada siapa saja
yang membangkang. Hilang sudah harapan itu. Menjadi puing-puing pecahan kaca. Beberapa
Negara tetangga memilih membantu Rohingya sebagai bentuk solideritas dan empati
sebagai manusia. hati mereka menjerit meminta pertolongan pada manusia-manusia
bernurani. Alih-alih banyak Negara yang menutup mata akan konflik tersebut,
bahkan menolak kaum minoritas itu hijrah atau berlindung ke Negara-negara
tetangga. Sungguh teriris melihat penderitaan kaum itu. Tak ada lagi yang bisa
dipertahankna selain iman dan nyawa. Bangunan madrasah, masjid dan tempat
tinggal mereka sudah tinggal kerangka yang rapuh. Semua itu telah dihanguskan
oleh manusia-manusia jelmaan syetan yang ada di Negara tersebut. Kepentingan politik
adalah dalang dari mencuatnya hawa nafsu iblis yang ada pada manusia-manusi
berkepala reptile itu. Mengambil data penelitian yang mengejutkan bagi
pengusaha bermata dolar di negeri sadis. Konon daerah rohingya itu mengandung
minyak bumi yang berlimpah. Tetapi cara yang digunakan untuk memanfaatkan
keuntungan tersebut layaknya para gerombolan binatang-binatang liar.
Disela-sela
berlindung kaum itu, mereka ingat dengan sejarah kelam pada kaumnya ketika
mereka masih dijuluki sebagai Suku Arakan yang memiliki kerajaan tersendiri, hidup
tenang dan penuh kedamaian, menjunjung tinggi syariat Islam selama 3,5 abad
sebelum diserang oleh raja budha dari Suku Birma. Kerajaan Islam pada ssat itu
pun dikalahkan oleh Suku Birma. Kemudian Suku arakan dimasukan kedalam daerah
kekuasaannya sehingga menjadi tidak berkembang. Itulah awal mula konflik mereka
terjadi.
Sampai
detik ini pun darah dan tumpukan nyawa menjadi saksi keganasan kaum Birma yang
sekarang. Rohingya menjadi daerah membisu terisolasi dari keramaian. Ditikam dengan
berbagai senjata dari sudut mana pun.
Kini
mereka hanya berharap pada jutaan mata yang menyaksikan penderitaan mereka. Dan
yakin akan kekuasaan Allah yang senantiasa menguatkan iman yang ada dalam diri
mereka. Dan scenario Allah akan dimulai
dengan strategi yang tak diketahui oleh Negara Dzolim tersebut.
Tangerang, 17 September 2017
Keren pak👍
ReplyDelete