Tuesday, September 26, 2017

Hijrah (cerpen pengukuhan jiwa)

"HIJRAH"
Bintang berpijar beserta rembulan bersikap setia memberi cahaya pada penikmat-penikmat dunia. Gemuruh sound-sound besar menggema di desa-desa, menandkan banyak sekali pesta. Lalulalang pemuda-pemudi dengan gaun elok dan dandanan versi jawa modern menghiasi jalan-jalan perkampungan. Membuat seorang wanita yang berdiam sedikit merasa miris melihatnya. Lantaran banyak di antara mereka yang belum menyandang kata "sah". Wajahnya terlihat tampak kebingungan untuk melangkahkan kaki menghadiri pesta-pesta pernikahan itu. Bagaimana tidak dalam satu pekan ia bisa mendapatkan lima sampai tujuh undangan dari mulai adik kelasnya dulu sampai teman-teman kuliahnya. 
Di bulan September, banyak sekali sepasang kekasih mengikat janji suci sehidup semati yang disaksikan pihak keluarga. maklum di bulan ini sagat diharapkan bagi para penikmat dunia tuk merayakan hajat dan sebagainynya. selagi masih harum akan lebaran haji, ditambah panen padi yang bagus.

"Mbba beli esnya Mba"
"Iyah silahkan duduk Bu"
“Emba kok jagain kios terus, kapan jalan dengan kekasihnya” Goda si pembeli.
“untuk apa Bu jika sekedar mondar-mandir tak jelas, toh mereka yang memegang tangan pasangan mereka malam ini, belum tentu bisa memegang janji suci”

Percakapan pedagang wanita yang terbilang religius itu menggambarkan sikapnya yang tak hobi berjalan-jalan, belanja, dan menghamburkan harta, malah ia lebih sering membantu ibunya berjualan di simpang tiga Murasaba. Setiap pagi ia menjual gado-gado dan minuman dengan ibunya dari mulai pukul 06.30 sampai 15.00. Ia juga melanjutkan pendidikannya ke jenjang kuliah dan mengambil program studi Bahasa dan Sastra Indonesia, meskipun terkadang ia ambil cuti karena tak ada biaya

"Rahmi Ibu mau tanya, apa kau sudah ingin menikah"
"menikah sih ingin Bu, tapi bagaimana kehendak Allah saja" ucap Rahmi sambil mengerinyitkan dahinya dan tersenyum. Tak jarang ibunya menanyakan prihal demikian. Lantarn kepingin anaknya segera mendapatkan jodoh seperti teman-temannya yang hampir semuanya sudah menikah. Ibunya kadang merasa takut jika anaknya terus menerus berjualan tanpa memedulikan laki-laki yang menyukainya. Padahal banyak laki-laki tampan dan cukup mapan yang ingin mempersuntingnya, hanya saja Rahmi belum ingin menikah terburu-buru.

Kesiapan untuk menikah baginya bukan perkara yang main-main. Dibutuhkan kesiapan mental dan rela mengikhlaskan segalanya. Ikhlas menjauhi kebiasaan masa lalun dan ikhlas merelakan semua aktivitas yang tidak disenangi suami, tapi yang terpenting adalah merubah dirinya untuk jadi makmum yang baik dan membawa suami ke jalan syurga Allah. Karena istri solehah merupakan perhiasan dunia yang mampu menarik hasrat suami tuk berjalan lurus atau berjalan dengan liku-liku hawa nafsu.

Hari demi hari Ibu Rahmi memikirkan anaknya yang semakin bertambah usia. Kadang menjadikan anaknya sebagai bahan perbincangan dengan ibu-ibu pembeli untuk dicarikan lelaki yang tepat bagi anaknya. Bukannya Rahmi tak tau akan kelakuan ibunya. Ia pun menyadari bahwa sikap ibunya itu secara tak langsung menginginkan dirinya segera menikah. Yah sebagai pedagang gado-gado sekaligus warung makan kecil kecilan, rahmi tak jarang mendapatkan sindiran berbumbu canda.
"Neng, kapan nih mau undang-undang ibu. Jangan terus-terusan diundang Neng nanti ketinggalan periode loh".
Celotehan seperti itu lah yang mengusik pikirannya. Bagaimana tidak, hampir semua ibu-ibu yang kenal dengannya menanyakan hal serupa. Di tambah Pandangan masyarakat, akan pernikahan itu sebagai investasi berkepanjangan. Jika anak-anak mereka menikah maka amplop berisi lembaran nominal dengan sendirinya berdatangan yang nantinya membuat mereka terciprat harta anaknya. Lalu jika anak mereka perempuan, orang tuanya tak tanggung-tanggung meminta barang bawaan yang banyak, agar anaknya tak repot-repot lagi Membeli perabotan rumah dan mengurangi beban keluarga. Bagi calon pengantin laki-laki mereka mencari kesana kemari sumbangan dari berbagai kerabat dan teman, ada juga yang hanya menanti. tetapi jika belum merasa cukup tuk merayakan pesta, mereka pasti mencari karena biaya menikah tak semurah membeli bawang. Ada yang menyumbang roko, bahan pokok atau uang untuk keperluan yang lainnya. Meski tak semuanya calon mempelai wanita mendapatkan calon suami yang diinginkan. Namun rata-rata masyarakat di kampung Rahmi demikian. Banyak kalangan remaja di lingkungannya yang tergila-gila duduk di pelaminan, mereka tak peduli masa depan mereka setelah menikah, dan hati mereka pun masih banyak yang tidak kokoh dengan pendiriannya. Lantaran umur yang masih terbilang  muda. Alhasil banyak sekali ikatan-ikatan yang terputus begitu saja. Yah perceraian, kata talak dijadikan perkara yang mudah dilontarkan oleh pasangan suami istri sungguh memprihatinkan bagi anak-anak mereka yang sudah menyaksikan gejolak pertengkaran bapak dan ibunya. Itu semua membuktikan mereka lebih mementingkan nafsunya saja ketimbang keharmonisan rumah tangga mereka. Tak memikirkan berapa jumlah biaya yang sudah dikeluarkan saat mengikat janji suci. Syukur-syukur memakai biaya sendiri, terkadang orang tua yang memfasilitasi pernikahannya. Tak hanya dikalangan remaja, bibit-bibit generasi bangsa tepatnya anak sekolah, di era melenium, mengadopsi gaya berpacaran orang asing. Kemesraan yang tak layak bagi pelajar ditonjolkan secara cuma-cuma, mengajak pasangannya wara-wiri dengan pelukan erat saat menaiki roda doa, dan mengunjungi tempat-tempat bernuansa estetis dan romantis dengan bergandengan tangan sesekali berpelukan mencuri kesempatan yang ada, padahal uang yang mereka pakai tidak lain adalah hasil keringat orang tuanya. Kemudian mempublikasikan kemesraan mereka di berbagai media sosial seolah memproklamirkan bahwa dunia ini milik mereka saja dengan caption yang berbau romantis seakan sudah menjadi suatu kesatuan dalam rumah tangga. Belum lagi dikalangan mahasiswa ada beberapa teman Rahmi yang rela bersentuhan dengan pasangannya bahkan ada yang mengaku pernah melakukan hubungan intim. Rahmi pun tak menyangka ada salah satu temannya yang rela melakukan perbuatan keji itu demi pujaan hati yang belum tentu menjadi suaminya. Sekalipun pasti menjadi suaminya, perbuatan zina tetaplah haram, jangankan melakukannya, mendekatinya saja sudah jelas tindakan tercela. Maka dari situlah Rahmi enggan tuk berpacaran ditambah dengan komitmennya yang begitu kuat. Semua fenomena itu terlintas dalam ruang pemikiran Rahmi, ia tak ingin kejadian-kejadian seperti itu mengakar dalam budaya remaja di Negeri Jaya khususnya di kampungnya, maka ia lebih memilih mempersiapkanya matang-matang dan mencari lelaki yang mampu jadi panutan ketimbang menikah hanya bermodalkan cinta.

Senja merona dihadapan wanita anggun dan terhias rapih, wanita itu merasa aneh dengan hatinya yang tiba-tiba gelisah. Lantaran rasa takut menyelimuti kalbu. Ia hawatair apabila tak segera menikah imannya akan dirongrong syetan. Ia sempat melamun di kala genderang malam tiba yang mendekap bulan sehingga tak memancar. Jodoh adalah suatu misteri yang tak ada rumus pemecahannya, mungkin mereka bisa berpacaran dengan siapa saja, dekat, berjalan dengan lelaki mana pun, tapi yang perlu diketahui, yang mereka cintai belum pasti menjadi jodoh. Allah sudah menggariskan jalan hidup manusia di lauhil mahfudznya.
Menikah memanglah suatu kesunahan dari agamanya. Tapi Rasulallah memberi jalan bagi yang belum mampu menikah untuk melaksanakan puasa sunah, dan rahmi menjalankan ritual itu tuk mengurangi syahwat. Tiba-tiba Rasa hawatir Rahmi pada anak-anak remaja yang masih duduk di bangku sekolah semakin bertambah, ketika ia membuka facebook dan melihat berbagai status terkait menikah, dan cinta. Apakah mereka tak memikirkan bagaimana masa depannya atau tak ingin bercita-cita tinggi lalu membanggakan orang tuanya. Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kerangka pikiran Rahmi. Sekali lagi bagi Rahmi menikah itu bukan perkara yang mudah. Tidak seperti memakai sepatu lalu berjalan-jalan seenaknya.
Minggu-minggu berikutnya Rahmi mulai merasa minder dengan teman-temannya yang sudah berkeluarga. Dengan membawa suami mereka pamer kebahagiaan di depan umum. Ada pun yang belum menikah mereka sudah memutuskan hubungan serius dengan pasangannya. Namun rahmi selalu sendiri jika pergi ke acara resepsi pernikahan temannya. kadang diantar oleh ojek online. Teman-temanya pun mempertanyakan dengan nada berbisik-bisik.
“Apa Rahmi tak ingin segera menikah seperti kita?”.
“Entahlah rahmi mungkin ingin fokus dengan kuliahnya”
Iyh mahasiswa jika sudah dipertemukan dengan jodohnya terkadang tak fokus dengan kuliah, apalagi saat ini ia sudah di tahap akhir”.
Itu semua pernah dialami oleh Rahmi sendiri. Kala itu ia masih semester 4 saat menjalin asmara dengan seorang laki-laki dari Fakultas Ekonomi ia lupa dengan tugas-tugas kampus dan tak pernah fokus pada saat jam kuliah berlangsung, yang ada ia selalu menunggu sapaan dan perhatian pacarnya. Waktu liburnya hanya ingin bertamasya berdua lalu menghapus apa yang namanya kerja kelompok. Ia juga sering menolak perintah orang tuanya untuk menunggu kiosnya. Tetapi semua masa lalu kelabu itu, kini sudah ia tinggalkan dan tak ingin ia kembali ke jalan tersebut. Begitulah masa lalu rahmi yang menghantui bayang-bayangnya untuk menjalin asmara. Kini ia mulai berbenah diri, selektif dan berkomitmen. Ia tak ingin menikah, jika kuliahnya belum selesai, dan tak mau berpacaran tanpa ada ikatan yang jelas. Itulah pondasi yang ia pegang erat-erat. Komitmen itu juga yang membuat dirinya menolak laki-laki yang mengutarakan cintanya. Awalnya perubahan Rahmi terbawa oleh arus pergaulan sahabatnya di kampus. Ia diberi motivasi  serta wawasan yang lebih luas akan indahnya Islam, dan sering dihadapkan dengan tontonan beberapa penceramah yang terkemuka dalam urusan agama. Salah satunya Ustad Abdul Somad. Ia selalu teringat akan pemaparan beliau akan sosok wanita solihah, yang mampu menjaga auratnya dari mata lelaki yang bukan mahromnya. "Jika wanita bisa menjaga auratnya di hadapan laki-laki, dia tidak hanya menyelamatkan dirinya saja tetapi sama saja dengan menyelamatkan banayak orang dari api neraka" itu yang masih terngiang dalam benaknya. dan bertutur kata yang baik, serta tidak melakukan zina atau mendekatinya. Perkara jodoh Allah sudah menjelaskannya dalam Al-Quran “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)” QS An-Nur ayat 26. Rahmi setelah mendengar ayat tersebut mulai intropeksi akan dirinya. Apakah ia sudah menjadi wanita yang baik, atau justru menjadi wanita yang keji,

Kesibukan pun mulai mengisi waktu wanita yang sudah berhijrah itu, lusa Rahmi akan diwisuda. Kabar gembira itu telah sampai pada sang Ibu. Ibunya pun sangat bahagia. Terlintas bayang-bayang Rahmi yang dikenakan toga hitam lalu menyandang gelar sarjana. Sesampainya di rumah seorang pemuda melamar anaknya dengan mahar yang jarang didengar oleh kebanyakan wanita. Yakni meminang dengan surat Annisa dan 20 gram emas.

"Bu kok melamun?" tanya Rahmi.
Ibunya hanya senyum-senyum dan memeluk anaknya. Kabar ini juga terdengar oleh laki-laki yang jauh-jauh hari ingin melamarnya setelah Rahmi diwisuda.
           
Esok hari tiba, Rahmi memutuskan menginap di kosant temannya sehingga meminta pamit terlebih dahulu dan meminta ibu dan sanak keluarganya menyusul pagi nanti.
"Bu, jika nanti Rahmi sudah menyandang gelar ini, harapan ibu pasti akan tercapai secepat mungkin. Rahmi pun tak ingin bersembunyi dari dosa yang menggoda iman Bu" janji itu terucap dari mulut wanita yang cantik san syahdu itu. Tak kuasa mendengar anaknya berbicara bersinar mutiara, airmatanya meleleh dan mengalir melintasi pipi yang mulai mengkerut. Pagi itu Rahmi memakai pakaian yang menutupi semua lekuk tubuhnya, dan mengenakan kerudung panjang ukuran XXL agar terlihat rapih dan tidak mengundang syahwat. Ia bertekad untuk berhijrah dari masa lalunya yang tebilang terbawa arus westernisasi. Pagi itu ia mencium tangan ibunya yang jadi penyejuk hati, agar mental dan moralnya terjaga.
"Bu Rahmi meminta izin untuk ke rumah Surtiah dia mau berangkat ke kampus bersama".
"Silahkan mutiaraku, hati-hati yak Nak. ngomong ada keperluan apa lagi ke kampus?"
"mengambil pakaian wisuda Bu untuk dikenakan besok"
      Ibunya tersenyum simpuh ketika Rahmi melangkahkan kaki untuk pergi kerumah temannya. Sayangnya Rahmi tidak diantarkan oleh siapapun. Ia memilih naik angkot karena ingin menghemat uangnya. Sesampainya di jalan raya wanita berkerudung panjang itu menyebrangi jalan yang kala itu ramai oleh truk-truk besar pengangkut tanah. Dengan sangat berhati-hati Rahmi melangkah dengan membaca Bismillah, tapi tak disangka dari arah yang berlawanan terlihat mobil box melaju dengan ugal-ugalan kala itu rahmi tinggal dua atau tiga langkah lagi menaiki angkot, ia hanya fokus pada dzikir yang ia ucapkan beriringan dengan langkahnya, dan saat kakinya mulai menemukan pintu angkot yang hendak ia naiki, mobil box hitam itu menghantam dengan kerasnya dibagian kiri dari angkot. Seketika semua cahaya yang terlintas dalam ingatan Rahmi memudar secara perlahan.“Ashaduanlailahailallah Waashaduanna Muhammadarasulallah” lantunan itulah yang terakhir kali diucapkan wanita mulia itu.


Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam:

"Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah." (HR. Muslim) 


Kota Bumi, 26 September 2017.
Iqbal Qurnawan



Monday, September 18, 2017

Cerpen Santri (ISO ORA ISO SING PENTING MAJU)



Catatan Lampau Qomar dan Ember Pikulan

Suara Al-Quran menghias kelap-kelip malam. Merangsak masuk ke dalam rumah-rumah melalaui lubang jendela. Suaranya bagaikan Qori Internasional yang memiliki volume suara yang tinggi dengan nada khas Qori. Suasana pun mencair dari kepenatan kehidupan, kebisingan jalanan dan kerusuhan masyarakat.
Entah siapa lelaki yang membaca syair berkalimat mutiara itu. tiba-tiba hatiku teringat dengan pemuda berkopiah compang camping dan baju putih sedikit kuning.  Suara merdu nan syahdu itu masih ku dengar di keheningan malam Jumat ini. Padahal seluruh penghuni bilik-bilik reot di lingkungan yang jauh dari keramaian ini suadah pulas mengarungi mimpi. Betapa hatiku senang mendengar surat yang ia baca, dengan suara mendayu, dan berinstrumen klasik seperti tempo dulu.
Tiba-tiba aku terbangun dari tempat tidurku. melangkahkan kaki ke ruang tamu yang begitu sederhana. hanya ada tiga kursi dan meja kecil.  Aku duduk menikmati instrumen klasik racikan pemuda itu, sambil meneguk air hangat bekas tadi sore. Suasana seperti ini mengingatkanku dengan catatan buku masa lalu. Suasana hening, tak ada orang yang berlalulalang, apalagi yang bermain-maian tidak jelas. Hanya ada suara jangkrik yang beradu argumen di malam hari.
Ingatanku mulai bernostalgia. Meninjau halaman-halaman dimana kesusahan, kerapuan, dan kelelahan menimpaku. Tanpa kedua orang tua yang entah bahagia atau gelisah melihat keadaanku pada waktu itu. Terkadang aku suka senyum-senyum sendiri bila mengingat masa-masa itu.***
“Qomar, Qomar, di panggil Abah.” Terdengar suara menggelegar.
“iya, Kang Asep ada apa?” jawabku.
“di panggil Abah, biasa rutinitas meren” terang Kang Asep yang mengetahui rutinitasku apabila dipanggil Abah setiap pagi dan sore.
“siap Kang,” sambil berlari seperti sedang lomba maraton.

Sesampainya di depan rumah Abah, aku merapihkan pakaianku yang sedikit berantakan karena berlari-lari tadi. Setelah rapih aku segera mengetuk pintu rumahnya.
“Asalamualaikum Bah” salamku.
“walaikum salam, langsung saja Mar kebelakang. Di situ ada peralatannya.” Jawab abah dari dalam rumah. Mungkin abah sudah hafal dengan ciri khas suaraku. Tanpa berfikir panjang aku segera pergi kebelakang rumah Abah dan mengambil peralatan yang di maksud. Inilah peralatan rutinitasku, dua ember cat besar dan satu pikulan yang terbuat dari kayu. Mengemban perintah guru adalah tanggung jawabku sebagai murid, meski rutinitasku ini terlihat sedikit memalukan, tapi aku ikhlas dan tidak pernah ku tolak perintah Abah. Kalau dipikir-pikir, jarak yang kutempuh memikul air sungai ke pesantren sekitar 1 kilo meter, itung-itung amal buatku nanti, toh yang memakai air ini masyarakat santri yang kesehariannya mengaji, otomatis sedikit pahalanya berlimpah padaku.
Di perjalanan menuju sungai. Cemohan selalu kudapat, apalagi celotehan-celotehan warga setempat, yang terkadang mengerjaiku dengan berbagai macam. Tapi ku anggap itu semua serpihan krikil yang tak mungkin ku hentikan langkahku. Maklum warga sini belum sadar betapa berharganya sosok santri. Mreka hanya mengingninkan anak-anaknya bekerja di pabrik-pabrik, parlemen dan menjadi pengusaha. Padahal semua itu, apabila tidak di dasari dengan Agama, akan terbawa arus duniawi yang selalu menggrogoti iman manusia.
Terkadang nafsuku menghasut nuraniku agar menolak perintah Abah, tapi berat jiwaku ini menolak perintah Sang Kiyai sekaligus orang yang memberiku makan selama ini. sudahlah ku jalani saja hidup ini. aku yakin ada hikmah dibalik semuanya.
Sambil melamuni kegiatanku diperjalanan, tiba-tiba sungai sudah di depan mata. Aku seperti melihat mutiara yang mengalir dengan berkilau. Segera ku mendekati tempat yang berbatu, agar aku bisa menginjakkan kakiku dan tidak tergelincir ke sungai. Ku ambil ember cat yang pertama segera ku isi dengan air jernih. Setelah terisi penuh ku ambil satu lagi.
“akhirnya terisi juga ember-ember ini” kata hatiku.
Setelah ember-ember terisi penuh. ku melihat Daratan seperti memapahku agar segera kembali ke pesantren. Mungkin ia mengerti betapa pentingnya air-air ini bagi Abah dan juga santri. “Oh iya lupa, aku harus 3 kali bulak balik sungai jika ingin kolam kamar mandi terisi penuh.”  kataku sambil menepuk jidat. Astaga, hari ini jam 5 sore ada pengajian dengan Abah. Aku harus segera kembali, karena jika sampai melewatkan pengajian nanti sore, aku merasa ada gunung yang menimpaku. Meski pun Aku sring terlambat.
 Baiklah, aku butuh tenaga ekstra, hatiku juga terkadang menjadi motivator di saat waktu menghimpit dan menjepit seperti ini. “Ayo Qomar, ingat jasa kiyai untuk santri dan untukmu, jika air yang kau pikul dalam bingkaian ember-ember itu bermanfaat, pahala akan selalu mengaliri langkahmu”. Semangat pejuang selalu tumbuh dalam jiwa, jika Abah terbayang-bayang dalam benakku.
Dua ember pertama sudah sampai di kamar mandi santri, yang jauh dari kata mewah. Cuma ada dua kolam seukuran meja sekolah. Keringatku menetes, tercampur air sisa di kolam. Tubuh ini mulai lesuh. Kutuangkan ember pertama, sampai habis. Nafas yang menguendus-endus memaksaku beristirahat sejenak. Setelah beberapa, menit ku tuangkan lagi ember yang masih terisi air itu. Padahal perutku belum terisi nasi sedikit pun, tapi ingatanku meruncing pada Abah, sebentar lagi mungkin lurah mengkentong kentrongan menandakan jam mengaji akan di mulai. Perasaanku bercampur aduk antara tanggung jawab dan jadwal pengajian mana yang harus aku pilih. Tapi, bagiku perintah Abah adalah segalanya setelah perintah Allah dan Rasulallah. Untungnya aku sudah menunaikan salat asar, sebelum memenuhi perintah Abah. Tanpa ambil pusing, aku pergi ke sungai untuk yang kedua kalinya. Jika air kolam ini tidak terisi penuh, nanti para santri tidak bisa solat berjamaah dan mengaji.

       Terkadang aku membayangkan ember dan pikulan kayu ini, sudah seperti teman-temanku, mereka layaknya kekasih yang enggan berpisah dengan pasangannya. Mungkin sewaktu ketika mereka akan rapuh, keropos, luntur, bahkan pecah, layaknya manusia yang terpahat oleh waktu. Entah siapa di antaraku dan mereka yang musnah terlebih dahulu yang jelas mereka sudah ku anggap teman kerjaku dalam memnuhi perintah Abah. Tak terasa Dua ember air putaran kedua pun, sudah ku ambil dari sungai itu, “semoga bisa terisi meski hanya setengah”kata hatiku. Kuturunkan ember-emeber cat itu. Jemari yang sudah sedikit keriput bekas memikul dan terkena air sungai, mencengkram pegangan embernya dan ku tuangkan ke kolam yang terlihat tersenyum karena isi perutnya akan penuh dengan air-air sungai bersih nan jernih ini. “Alhamdulillah” ucapku sambil merapihkan sarung yang agak kedodoran. Melihat pakaian yang aku kenakan, sedikit basah dan nampak kotor. Mungkin aku ke kamar terlebih dahulu untuk mengganti pakaianku dengan pakaian yang lain. Masih tersisa dua potong pakaian yang bersih. Sebelum aku kekamar aku menuangkan air secukupnya untuk berwudu, supaya nanti bisa langsung mengaji pada Abah dan tak repot-repot lagi mengambil air wudu. Antriannya sangat  panjang jika mengambil air wudu pada detik-detik magrib datang. Makannya aku putuskan untuk berwudu sekarang. Kata Umi sih, bukan santri namanya kalau tidak mengantri.
            Sesampainya di kamar, tidak ada satu pun penghuni gubuk-gubuk reot ini. Biasanya jika semuanya ada di kamar, suara terompet malaikat pun kalah dengan suara-suara mengaji. Apalagi suara lurah pondok. Jika jam istirahat, Kang Asep alias lurah pondok, mengumandangkan bait-bait Al-Quran dengan nada-nada bayati, hijaz dan jiharkah. Wajar, ia termasuk kori andalan di pesantrenku. Tapi ada juga santri yang hobi hardolin kata bahasa Sundanya, dahar, modol, ulin. Tidak ada kerjaan lagi selain makan, menabung di tolet, dan bermain. “aaah sudahlah, mereka punya jalan hidupnya masing masing, tidak usah kupikirkan apalagi sampai dipermasahkan” hatiku menggerutu. ***
            Tiba-tiba ingatan catatan masa laluku terpotong dengan suara halus tak berduri. “Bi, Abi, sudah jangan melamun seperti itu, di masjid sudah tarhim, mungkin sebentar lagi azan akan berkumandang” nasihat wanita halalku. Ternyata mengingat catatan manis itu, tak terasa mengantarkanku pada waktu subuh, oh nikmatnya. Ku ambil pakaian rutinitasku yang sudah berubah dengan perpaduan sutra, tak nampak lesuh, bahkan halus, tak lupa dengan kopiah hitam berukuran 9 centi meter. “Mi, Abi kemasjid”. Tapi tak ada sautan manis dari wanita halalku, mungkin ia sedang melaksanakan salat sunah, ya, sudahlah.
            Fajar nampak tersenyum melihat sebagian manusia masih ingat dengan Sang Pencipta. Ayam-ayam berkokok meriah di pagi hari menyapa dan membalas senyuman hangat sang fajar, jangkrik-jangkrik mulai beristirahat berganti dengan burung-burung greja yang berkicau dengan volume rendah tapi konsisten berbunyi. Meraba kornea mata tuk membuka jendela keimanan. Setelah salat subuh, ku duduk di depan rumah yang jauh dari kata mewah. Sambil membaca-buku pemberian seseorang yang begitu berharga bagi kehidupanku. Aku mulai mengingat-ingat kembali masa-masa itu, urat-urat syarfku masih bergelantungan rapih pada tempatnya. Nampaknya aku masih ingat kejadian yang membuat wajahku merah karena malu. Bukan hanya sekali, bahkan berkali-kali ku alami.***
            “An Abdillah Ibni Amrin, kola, kola Rasulallahu Salallahu Alaihi Wasalam. Ridhallahi firidholwalidaini wasukhtullahi fisukhtilwalidayni” ingat anak-anakku sekalian, tentang Hadits ini, bahwasannya ridho Allah terletak pada ridho kedua orang tua dan murka Allah pun terletak pada murkanya orang tua. Tanpa jasa mereka, kalin mungkin tidak bisa tumbuh sebesar ini, setampan ini, secantik ini, bisa berpakaian dan bisa membaca. Itu semua jasa yang takan mungkin bisa kalian lunasi jasanya. Maka kesimpulan sore ini, hormati, lindungi, sayangi, dan cintai kedua orang tua kalian. Karean waktu sudah menjelang magrib marilah kita membaca doa penutup, perintah Abah pada santriawan dan santriawati.
“Assalamualaikum” salamku, tanpa merasa malu layaknya orang yang ingin mempunyai ilmu dengan belajar bersungguh-sungguh. Tapi, sepertinya ada yang aneh dengan santri-santri, melihatku dengan menahan tawa yang meluap di batin mereka. Apa ada yang salah dengan penampilanku atau dengan kopiahku. Ahh mungkin ini Cuma kekaguman mereka padaku. Ketika aku menuju tempat duduk Abah untuk bersalaman karna takdzimku pada beliau, Abah segera mengucapkan kalimat
“wallahu alamu bisawab” menandakan pengajian sudah beakhir.
Santriawan dan santriawati pun tak kuasa lagi menahan tawa mereka. Bahkan ada yang tertawa sambil memegangi perut dan ada juga yang menutupi wajah. Aku pun merasa malu bukan main lagi, wajahku memerah, seolah aliran darah tersumbat di wajah ini, dan urat ndiku seperti hendak terputus karna menahan rasa malu. Sejenak ku menahan langkah sambil merunduk dan tersenyum malu. Tapi ku lanjutkan menjabat tangan Abah dan menciumnya. “punten Bah, baru selesai mengisi air kolam” terangku.
“Samuhun, ngarti Abah oge Mar” jawab Abah yang menetramkan gemuruh di hatiku.
Santriawan dan santriawati satu persatu mulai meninggalkan majlis tapi di antara mereka masih ada yang tertawa ria seperti mendapatkan sebuah lelucon yang dibawakan pelawak ternama. Sedangkan aku masih duduk merunduk di depan Abah, begitu pula dengan Abah. Ia menatapku dengan kilauan mata yang bening, hingga sukmaku merasa bingung. “apakah Abah hendak memarahiku, atau menasihatiku agar lebih giat lagi” tanya hatiku.
“Qomar,  meski engkau ini bodoh, lapuk, dan jarang mengikuti pengajian karena mengisi kolam. Abah melihat perbuatnmu itu ikhlas tanpa pamrih Mar. Almarhum ayahmu pernah berpesan agar engkau ini kelak bisa menjadi anak yang penurut, saleh dan Sabar. Meski Abah suka memarahi kamu jika kamu lalai, itu semua bentuk kasih sayang Abah pada mu. Jangan kau anggap Abah ini membencimu, salah kau Mar” nasihatnya menghilangkan rasa lelahku. Bait katanya bagaikan mutiara yang tak ternilai harganya. Bahkan jika ada yang menukar nasihat Abah dengan intan berlian sekali pun, Aku tak akan menukarnya.
“Tapi Ingat Mar, Abah sangat rida, dan ikhlas padamu dalam memnerikan ilmu Abah. Kau memang sering terlambat dalam mengaji. Tapi lihat Mar, lima tahu kemudian. Siapa yang berdiri di mimbar-mimbar masjid dan mengisi ceramah di majlis-majlis talim”pungkas Abah.
Aku haya menunduk, dan menganggukan kepalaku. Aku tak kuasa menahan air yang mengalir melintasi pipiku dan jatuh ke lantai. Aku memikirkan yang di bait-bait kalimat yang keluar dari mulut Abah sekaligus Pak Kiyai. “Apa mungkin ragaku ini mampu berdiri di hadapan orang banyak, sedangkan aku ini orang yang terbilang cukup bodoh dan minim ilmu.” Gerutu hatiku.
“samuhun Abah, Qomar tak ada henti meminta ke Gusti Allah semoga Qomar sanggup dan mampu menjadi orang yang bermanfaat bagi umat. Qomar juga mminta doanya Bah semoga ilmu Qomar berkah meski sedikit” pintaku.
“pasti,Mar pasti. Sambil mengelus kepalaku. Magrib Mar, gera ke masjid” pinta Abah.
Aku pun berdiri dan bersalaman dengan Abah. “Asalamualaikum”
“Walaikum salam”. ***

          Catatan itu seolah hidup dan menyelimuti sel-sel pikiran dalam ingatan otakku. Terlalu manis masa-masa dengan Abah . seorang kiyai, motivator sekaligus orang tua bagiku. Masih banyak catatan-catatan lelah susah dan payah keseharianku. Ingin ku putar kembali ingatan ini. namun seorang pemuda berkopiah hitam sedikit miring dan berpakaian compang camping mendekatiku yang sedang duduk sambil memegang buku di depan rumah. wajahnya selalu menunduk kebawah seperti ada uang receh yang terjatuh. Ketika tepat berdiri di hadapanku, Ia menjabat tanganku untuk besalaman. Tak tanggung-tanggung tanganku diciumnya tiga kali bolak-balik.
“Punten Kiyai, mimbarnya sudah di siapkan untuk pengajian bada subuh”...


Kronjo, 25 Oktober 2016.




Tentang Penulis

Iqbal Qurnawan, lahir di Tangerang 06-07-1996. Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Tangerang, Jurusan Bahasa dan Satra Indonesia, Tinggal di Pasir Kronjo, Kab. Tangerang Banten. mulai menulis sejak tahun 2015.  membuat cerpen "qomar dan ember pikulan" teringat dari kishnya menjadi santri.
Pesan: Menulislah dengan kontinuitas dan produktivitas, agar hidupmu tidak tersendat bisingnya fenomena yang mencuat.
 

Kumpulan Puisi Romantisme (Musafir Sastra)


        Seiring waktu berdetik menggelitik membawa canda dengan putaran sejarah kelamnya. entah apa yang membawamu kembali dari catatan lampau kala itu.
kau tau, hadirmu kini mengganggu konsentrasiku, tapi auramu membawa  arus  positif. sosokmu pula yang memaksa penaku tuk keluar dari tempat semedinya


"Bersemi"

Masa lalu itu...
Kembali mengerucut
siring senja menghisap sariku yang kecut

Kau...
Simanis yang ku puja dikala itu
Membusam dibalik lensa antik
Menghilang bersama detik-detik
Yang mengusik malamku

Sepi...
menjelma tajuk rindu 
dikala Mimpi sekilas nyata 
menoreh cerita
Akan dilema teka-teki berujung makna
Bahwa kau mulai terasa
Hadir serupa akan angan yang ku bawa

Sungguh bilamana sediamu
Menjamah harapku
Mari mendayung di atas bahtera
Berlapis apilan adicita.



Dangdeur, 18 September 2017.



        langkah kaki tak mudah terhenti, perdetik ku mulai menerawang sekelilingku yang mulai tersulap teduhnya bayang-bayang senja dan sebuah keputusan hati tak sanggup tuk menggerakan otot tuk mengetuk perbendaharaan tubuh ini. hingga aku jatuh dalam keputusan yang sejalan, yakni berlindung di balik kerumunan. dengan sengaja pena meminta jeari-jemariku menjamahnya dan meminta tuk menjadikannya saksi hidup akan langkahku.


"Perjalanan Musafir"


Penantian yang terjeda detik luka
Aku Termenung menanti senja merona
Di dekat alun-alun kota sejuta bunga
Ku tatap sekelilingku raut kuyup oleh dahaga
Namun satu yang bercaha

Menanti angan-angan tak kunjung tiba
Lesuh tak bernafsu menadah rindu
Ku tulis alur asmara baru
Dengan tema lupa masa lalu
Kerling tatapanku padanya satu cahaya
Di antara menara alun-alun kota

Bandung, 9 Mei 2017.


       Bunga tidurku kala itu mencoba mengusik ketenangandengan senjatanya yang mengkilau dan menjadi angan-angan yang diharapkan. Ku coba tepis, lalu ia tak henti mendatangi dan mengusik kembali, kali ini membawa pasangannya dan menjerumuskanku ke dalam lubang mimpi yang mengharuskan pilihan tuk menjadi pembasmi.



"Liontin"

Sepasang cincin ku mimpikan di pagi hari 
Membawa dilema, berteduh pada sanubari
Ia menyapa senandung ratapan hati 
Tertati-tati mengejar angan yang berlari 

Sepasang cincin berwajah liontin itu bertanya 
Seberapa lama cintamu kan menepi?
Dan membiarkan usiamu dirongrong waktu?
Lalu aku sang pemilik hati 
Hanya diam menanti jawab terbebas batas waktu 

M.S
25, Juli 2017.




Tak mengerti dengan segala gejolak ditubuhku. Entah mengapa pena yang ku pegang memintaku melimpahkannya di atas pundak teman sejatinya yang selalu menampakan keputihan sebagai fitrahnya.


Malam kelabu mengikis benak purnama
Setapak demi setapak berderap
Mundur mengendur di benak pemuda
Hampa melanda sanubari tak bersayap
Tanpa sandi pemecah perkara

Sepotong cintanya menepi dari tubir bumi
Namun cermin mata tiada dusta
Hanya panorama wajah senja 
Memenuhi sudut-sudut kornea
Meski temaram kadang menghitam
Sang pemuda tak berkutik karena rasa
Pena tak sanggup mengubah alur cerita

Dalih merpati menghempas egonya
Sampai ke tepi dasar jiwa
Mengingat mereka tak mungkin bersama

Kronjo 26 Mei 2017.






Baying-bayang wanita tua yang melintas di hadapanku, menyentuh ingatan kepada sang Mutiara Syurga yang selalu berjuang tuk menghidupi anaknya hingga kini. Wajahnya tak seindah dulu, mulai terpahat oleh waktu, tapi aku mengaguminya. Sosok pembangun melebihi motivator hebat, sosok penolong dikala jatuh, sosok pahlawan yang selalu tersimpan dalam ingatan. Tak ada bandingan yang bias menggambarkan kesucian hatimu. Bu aku berpijak dengan langkah-langkah penuh keyakinan, tak lain berkat doamu.

 "Bayang Rindu"

Sepikul rindu menimang tubuh wanita pedalaman
Dengan pungguk mengendur tergopoh-gopoh kelelahan
Langkahnya tak beraturan 
Tak mampu menahan terjalnya perjalanan

Sepikul rindu meruncing hati pedalaman
Sedih menatap bayang-bayang temaram
Memudar, menipis teriris belati zaman
Menyisakan bingkai kejayaan di waktu kelam 
yang membias sukma wanita pedalaman

Sepikul rindu menimang kaki pedalaman
Do’anya tersusun menghadap pintu pengabulan
Sujudnya menetap tiada kelenggangan 
Tasbihnya berputar seiring roda zaman
Demi pengangkatan rindu di malam yang kelam.

01, Syaban 1438. H






Sepasang kornea mataku mulai bermasalah dengan pemandangan di kegelapan. Padahal birahiku menikmati peradegannya. Tapi tidak dengan nurani, ia tek ingin berkompromi. Bahkan ia segera menarik ku dari tubir tongkrongan yang tak sewajarnya itu. Mungkin itulah santapan kegelapan malam Minggu yang dibawa arus westwrnisasi


“Mangsa Malam Minggu”

Malamku 
Malammu
bukan ini bukanlah milik kita
Siapa sangka jumpa telah bertanda
Di antara pemuda-pemuda dipinggiran kota
Kau tertindih sedih untuk mereka
Melepas alas dada dengan hasrat menerka

Aduh ngilu memandangmu 
Istirahatmu terganggu bising desahnya
Mereka sengaja pamer bendera wajahnya
Tanpa malu malu meniru liku-liku  Madona 

Sekiranya tangismu menderai ulahnya
Mungkin pintamu cukup guncangkan ragamu.

Kota Tangerang, 21 Mei 2017.






 



Contoh Surat Lamaran Pekerjaan yang Dibutuhkan Oleh Industri dan Instansi

            Surat lamaran pekerjaan merupakan surat resmi yang ditujukan untuk instansi atau lembaga yang bertujuan untuk mendapatkan pekerj...