Merenung di pagi hari sudahlah menjadi kewajiban bagi Adi anak yang
putus sekolah. Kali ini ia berfikir keras untuk mampu menghidupi 3 saudaranya
yang masih kecil. Andai saja hidup seperti hayalan manusia yang sekejap bisa
menjadi orang kaya dan tidak pernah mengenal rasa susah. Renungan baginya
adalah nutrisi akal untuk mencoba berani berangan, meski ekspektasi terkadang
tidak sesuai harapan.
Setiap pagi Adi tidak pernah
terburu-buru seperti karyawan pabrik. Terkadang ia merasa bahwa
tetangga-tetangganya itu diperbudak oleh aturan orang asing, yang melenyapkan
hangatnya pagi bersama keluarga. Meskipun ia menjadi orang yang kurang
beruntung karena sudah kehilangan ayah dan bundanya, tetapi Adi sangatlah
bersukur karena bisa berkumpul dengan adik-adiknya di setiap pagi sebelum ia
membuka gelaran buku-buku bekas dan koran. Siang ini Adi berencana tidak
berdagang karena ingin datang di salah satu Kampus di Tangerang untuk
memenuhi undangan Seminar Nasional dari Deni, mahasiswa yang sering mengunjungi
gerobak buku-bukunya. Tepat pukul 12.30 Adi berangkat dengan menggunakan spedah
motor butut yang dapat ia pinjam dari tukang sol sepatu di sebelah emperan
dekat tempat ia dagabg. Dalam hatinya berkicau “Selamat siang dunia yang
kupandang sempit. aku merasa girang bukan main diundang acara seperti ini.
Sepertinya penilaianku salah jika menganggapmu ruang kotak-kotak yang pengap. Aku
akan merevisi pandanganku tentangmu menjadi ruang tamu yang megah dan penuh
hiasan bunga” laju motornya semakin cepat, seperti tidak sabar untuk mengikuti
seminar.
“Sinergitas Pemuda dalam meningkatkan Mutu Pendidikan dan Ekonomi
Global” terpampang besar tema seminar pada banner di depan pagar kampus. Semua
mata terpukau dengan kegiatan salah satu kampus di Tangerang ini. Salah satunya
mata Adi yang merasa tersihir dengan tulisan tersebut. Sesampainya di halaman
kampus, adi menanyakkan kepada mahasiswa yang sedang duduk di warung dekat
parkiran. Mahasiswa itu terlihat stylis dan berpenampilan rapih. Sesekali lelaki itu melirik Adi saat berjalan, mungkin ia berprasangka bahwa untuk apa model manusia
kardus datang ke kampusnya yang mewah ini.
“Misi Bang, numpang tanya
kalau aula kampus dimana yah?” kata Adi dengan santun.
“dari sini lurus, ketemu ruangan Rektor ke sebelah kanan yak!”
jawabnya ketus, bahkan tidak melihat sedikitpun raut adi yang melas. Pandangan
pemuda itu fokus dengan game yang ada ditangannya.
“Makasih Bang” jawab Adi kesal.
“Mungkin semua mahasiswa di sini seperti orang itu, tak tau caranya
beretika saat berbicara. Apa mungkin karena gamenya yang mengalihkan dunianya.
Andai saja Game bisa membawa perubahan positif mungkin Negeri ini sudah
dipenuhi dengan prestasi. Tapi nyatanya lahirlah sikap apatis dan punahlah
sifat sosialis” katanya pelan sambil berjalan menunduk.
Terdengar suara musik begitu keras, Adi berlari menyangka acar seminar sudah berlangsung.
“Mas, mau kemana”.
“Seminar Kang, saya temannya Deni” jawab Adi tergesa-gesa.
“Sudah bayar belum?” dengan nada ketus
“Saya dapat undangannya” jawab Adi sedikit kesal.
“Mana mungkin dapat undangannya, kan yang dapat undangan cuma
orang-orang terpilih, kalau ada buktinya nanti saya persilahkan masuk”
“Ada kok, Nih!” dengan menunjukkan undangan yang terbungkus
pelastik. Adi sengaja membungkusnya dengan pelastik karena takut terkena hujan.
“Aaaah itu dapet ngambil dari mana, ko dibungkus gitu, pasti dapat
nemu yah?”
“Jangan sembarang nuduh Kang, kalau tidak percaya panggil saja
Deni, yang memberi saya undangan?” dengan raut yang mulai kesal
“Mana mungkin ketua kami bergaul dengan orang seperti kamu, lagi
pula acara inikan untuk mahasiswa bukan anak bocah”dengan nada yang mulai
tinggi.
“Abang boleh pandang saya demikian. Tapi otak manusia tak semuanya sejajar
dengan usianya. Ada yang berusia muda tapi lebih berakal dari yang tua, ada
pula yang seperti Abang tapi isi dan bobot otaknya tak sejajar dengan usia”.
“Maksudnya Elu ngeremehin kualitas Gua nih Bro”tangan penjaga itu
mulai menggenggam kerah baju Adi.
“Lah buktinya pandangan dan tingkahlakunya bukan menandakan
Mahasiswa. Mahasiswa kan otak yang aksi bukan otot yang beratraksi” sambil
menunjuk ke arah jambakkan lelaki itu. Akhirnya seluruh panitia berduyun-duyun
datang melihat kejadian tersebut, Deni yang melihat kejadian itu, segera
memisahkan keduanya dan memberi penjelasan pada temannya.
“Dia teman Saya” tegur Deni sambil merangkul Adi.
“Haturnuhun Den” ucap Adi dengan senyum khasnya.
“Santailah, mari masuk, pilih saja tempat duduk yang kamu mau,
mumpung masih kosong.
“Laah kok, masih lowong gini Den,
bukankah dijadwal mulai jam 1 siang.” tanya Adi merasa heran.
“Iyah Di, wajarlah ini sudah membudaya dikalangan kita. Orang-orang
sudah tak mempedulikan dan tidak menghargai waktu. Bahkan teman-teman panitia
saja masih ada yang terlambat. Padahal mereka sebagai penyelenggara.
“Apakah ini budaya masyarakat Indonesia tidak bisa menghargai
waktu, bahkan generasinya pun yang dianggap agen of change tidak bisa disiplin.
Apakah akan ada perubahan yang signifikan bagi negeriku dimasaku nanti jika
pendahuluku seperi mereka-mereka. Tadi saja aku dianggap orang yang tak layak
untuk ikut seminar. Padahal seminar ini untuk umum. Mungkin mereka memandang hanya dari luar saja. Bukankah pakaian bukan menjadi
ukuran baik buruknya manusia. coba bang Deni lihat diluaran sana, banyak orang
yang berpakaian rapih malah dibalik layar mereka pengedar narkotika, lihat para pemimpin kita yang terjerat kasus korupsi mereka juga berjas dan dasi tetapi nyatanya tak lebih dari penjahat bertopeng”. Tutur Deni yang merasa kecewa. Deni yang mendengar kata-kata Adi merasa terenyuh. Iya merasa menjadi
mahasiswa yang ironis. Karena tidak bisa membawa perubahan yang signifikan pada
Bangsanya sendiri, mungkin cakupan Bangsa terlalu luas, tepatnya pada ruang lingkup kampusnya.
Satu jam menunggu akhirnya acara tersebut dimulai. Adi dan Deni
tidak duduk berdekatan karena Deni pamit izin untu mengurusi hal-hal yang
sifatnya teknis. Pembicara demi pembicara menjelaskan materinya dan membuat
audiens merasa terpukau dan memberikan sorak tepuk tangan bergemuruh.
Pembahasan itu semakin menarik ketika ada sesi tanya jawab. Terlihat ada remaja
berpakaian kumal mengajukan pertanyaan yang mengagumkan. “Jika pemuda sebagai generasi bangsa yang mampu mengangkat integritas dan kredibilitas bangsa melalui cara bersosial dan keramahtamahannya sebagai khas Indonesia; bagaimana dengan para pemuda yang masih acuh terhadap perkembangan zaman, lalu mengapa perubahan sikap pemuda yang ketika dewasa justru mereka menyimpang dari perilaku baiknya, seperti menjauhi ulama dan gurunya, berani menjerumuskan diri dalam pergaulan bebas dan berkutat sepenuhnya pada game yang tidak memberi dampak baik baginya. Dimanakah peran pemuda jika tumbuh generasi yang demikian. Siapakah yang harus disalahkan, apakah karena orang tua di masa kini lebih fokus pada pekerjaan, atau kah karena para pendidik mulai tak ikhlas mendidik lantaran gajihnya tak sebanding, atau karena pemerintah lebih fokus terhadap pembangunan infrastruktur bukan dari SDM manusianya itu sendiri. Siapakah yang bertanggung jawab jika generasi kita seperti ini Pak.
Ucap Adi dengan keseriusannya bertanya sambil menggerakkan tangan kanannya
seolah menjadi mahasiswa kritis. Semua mata terpana tak menyangka remaja itu
bisa berbicara selincah itu. Bahkan beberapa mahasiswa memberikan tepuk tangan
dengan keras dan diikuti oleh peserta seminar yang lain, termasuk Deni.
Adi merasa puas dengan jawaban para pemateri seminar tadi, ia
merasa bahagia bisa menghadiri acara tersebut. Apalagi setelah mendengar
jawaban dari pertanyaannya yang membuat dirinya akan bisa bersekolah lagi.
Ketika pertanyaannya dijawab, ia ditanya oleh salah satu pemateri tentang
riwayat pendidikkannya dan dia menjawab bahwa dia tidak sekolah SMA sampai
lulus. Alhasil Adi diundang oleh salah satu pemateri untuk datang ke salah satu
sekolah Negeri dimana Pemateri itu menjadi pengawas sekolahnya. Sambil berjlan
mengendarai motor ia bernyanyi-nyanyi dan merasakan angin yang melambai-lambai
seolah Adi si tukang koran yang mempunyai masa depan. Besok pagi sekali adai
berencana mendatangi Pak Anshori yang menjanjikannya beasiswa sekolah di acara
seminar tadi. Adi berharap hari ini segera berlalu dan berganti hari esok yang
gemilang.
“Suara adzan subuh menggetarkan telinganya, kokok ayam dihalaman
belakang rumahnya seolah menjadi dering jam alarm. Dengan penuh semangat Adi
segera bangun tanpa merenungkan masa depannya seperti hari-hari sebelumnya. Ia
tunaikan dua rokaat dan berkomunikasi dengan tuhannya. Dalam doanya ia
panjatkan semoga cahaya terang ini bukanlah fatamorgana seperti apa yang sering
dijanjikan oleh para calon-colon pemimpin. Adi membawa semangat subuhnya
berlabuh dijalan printis kemerdekaan untuk mendatangi sekolah yang dimaksud Pak
Anshori. Karena jarak yang cukup jauh dari rumahnya ia terlambat karena macet. Budaya sekolah yang ia lihat tidak jauh
berbeda dengan dulu saat ia masih sekolah. Seperti biasa anak-anak di era digitalisasi
bukan belajar membaca, atau menemukan sebuah karya, melainkan sibuk bermain game sebelum masuk ke kelasnya. Adi yang sedang duduk di
sudut halaman sekolah melihat pemandangan yang tidak biasanya, yah banyak
sekali anak-anak berkumpul tanpa saling berbicara dan mengobrol, pandangan
mereka fokus dengan masing-masing gawainya. Entahlah Adi yang bukan siapa-siapa
di sekolah ini hanya bisa berprasangka dan berprasangka. Jika sudah begini
siapakah yang harus disalahkan. "Pendidikan kita jauh dari
angan-angan leluhur pendiri bangsa" katanya.
Jam sekolah berbunyi. Semua siswa memasuki kelas.
Karena penasaran Adi melihat kegiatan belajar mereka. Sambil berjalan menyusuri
satu persatu kelas-kelas yang ada di sana. Adi termotivasi untuk belajar kembali ketika melihat kegiatan belajar di sekolah. Tiba-tiba Adi menghentikan
langkahnya dan seluruh tubuhnya bergetar, matanya memerah seolah melihat pemandangan mencekam. Tatapannya fokus pada apa yang ia lihat. Sambil menarik nafas ia mencoba mengontrol emosinya. Entah apa
yang ia lihat, yang jelas kali ini Adi tidak bisa menahan nafsunya dan berlari
memasuki kelas.
“Daaasar anak kurang Ajar, berani-beraninya kau menantang
gurumu sendiri (sambil menarik dan menjambak rambut anak berbaju putih
abu-abu), dimana akal sehat kalian, sejak kecil kalian diasuh dan diajari tatakrama
oleh orang tua kalian, diberi susu dan nutrisi agar tumbuh menjadi orang yang
baik, lalu disekolahkan diberi pelajaran mulai dari bahasa hingga agama. Malah
kini berani menantang Guru kalian sendiri. Saya orang yang tidak lulus sekolah
masih tau bagaimana menghargai dan menghormati. Kalian yang hidupnya sudah enak
dijamin oleh orang tua masih belum tau caranya berterimakasih” teriak Adi yang
masih terlihat emosi dan mencengkram leher anak sekolah itu. “Sudah De, sudah!.
Tolong dilepaskan, kasian dia tidak bisa bernafas” pinta bapak tua yang memelas
ke pada Adi. “Lihatlah Bapak ini masih peduli dengan anak tak bermoral ini. Ini
bahan pelajaran untuk kalian, jika Saya melihat kejadian yang serupa seperti
ini saya tidak segan segan” sambil mendorong anak itu”.
kejadian ini memicu keramaian di kelas itu, bahkan seluruh dewan guru dan masyarakat sekolah melihat kejadian ini. Adi yang tidak dikenal di sekolah itu tiba-tiba menjadi sosok yang terlihat menakutkan. Berbagai prasepsi tumbuh dari akar pikiran mereka. Ternyata salah satu siswa ada yang merekam kejadian itu, dan melaporkannya kepada orang tua anak yang dicekik Adi di kelas. Adi yang tidak ada niatan menganiaya dilaporkan oleh orang tua anak itu ke pihak yang berwajib dengan tuduhan penganiayaan anak SMA oleh Preman sekolah. Kasus ini menjadi viral dikalangan Masyarakat meskipun belum jelas kebenarannya. Harapan Andi pun tiba-tiba pupus. Ia harus berurusan terlebih dahulu dengan pihak kepolisian atas aduan orang tua siswa SMA itu. Sampai akhirnya datanglah Pak Anshori dan saksi Pak Guru Anton untuk membelanya.
kejadian ini memicu keramaian di kelas itu, bahkan seluruh dewan guru dan masyarakat sekolah melihat kejadian ini. Adi yang tidak dikenal di sekolah itu tiba-tiba menjadi sosok yang terlihat menakutkan. Berbagai prasepsi tumbuh dari akar pikiran mereka. Ternyata salah satu siswa ada yang merekam kejadian itu, dan melaporkannya kepada orang tua anak yang dicekik Adi di kelas. Adi yang tidak ada niatan menganiaya dilaporkan oleh orang tua anak itu ke pihak yang berwajib dengan tuduhan penganiayaan anak SMA oleh Preman sekolah. Kasus ini menjadi viral dikalangan Masyarakat meskipun belum jelas kebenarannya. Harapan Andi pun tiba-tiba pupus. Ia harus berurusan terlebih dahulu dengan pihak kepolisian atas aduan orang tua siswa SMA itu. Sampai akhirnya datanglah Pak Anshori dan saksi Pak Guru Anton untuk membelanya.
No comments:
Post a Comment