Wednesday, February 20, 2019

Antologi Cerpen 1


Merenung di pagi hari sudahlah menjadi kewajiban bagi Adi anak yang putus sekolah. Kali ini ia berfikir keras untuk mampu menghidupi 3 saudaranya yang masih kecil. Andai saja hidup seperti hayalan manusia yang sekejap bisa menjadi orang kaya dan tidak pernah mengenal rasa susah. Renungan baginya adalah nutrisi akal untuk mencoba berani berangan, meski ekspektasi terkadang tidak sesuai harapan.

Setiap pagi  Adi tidak pernah terburu-buru seperti karyawan pabrik. Terkadang ia merasa bahwa tetangga-tetangganya itu diperbudak oleh aturan orang asing, yang melenyapkan hangatnya pagi bersama keluarga. Meskipun ia menjadi orang yang kurang beruntung karena sudah kehilangan ayah dan bundanya, tetapi Adi sangatlah bersukur karena bisa berkumpul dengan adik-adiknya di setiap pagi sebelum ia membuka gelaran buku-buku bekas dan koran. Siang ini Adi berencana tidak berdagang karena ingin datang di salah satu Kampus di Tangerang untuk memenuhi undangan Seminar Nasional dari Deni, mahasiswa yang sering mengunjungi gerobak buku-bukunya. Tepat pukul 12.30 Adi berangkat dengan menggunakan spedah motor butut yang dapat ia pinjam dari tukang sol sepatu di sebelah emperan dekat tempat ia dagabg. Dalam hatinya berkicau “Selamat siang dunia yang kupandang sempit. aku merasa girang bukan main diundang acara seperti ini. Sepertinya penilaianku salah jika menganggapmu ruang kotak-kotak yang pengap. Aku akan merevisi pandanganku tentangmu menjadi ruang tamu yang megah dan penuh hiasan bunga” laju motornya semakin cepat, seperti tidak sabar untuk mengikuti seminar.

“Sinergitas Pemuda dalam meningkatkan Mutu Pendidikan dan Ekonomi Global” terpampang besar tema seminar pada banner di depan pagar kampus. Semua mata terpukau dengan kegiatan salah satu kampus di Tangerang ini. Salah satunya mata Adi yang merasa tersihir dengan tulisan tersebut. Sesampainya di halaman kampus, adi menanyakkan kepada mahasiswa yang sedang duduk di warung dekat parkiran. Mahasiswa itu terlihat stylis dan berpenampilan rapih. Sesekali lelaki itu melirik Adi saat berjalan, mungkin ia berprasangka bahwa untuk apa model manusia kardus datang ke kampusnya yang mewah ini.
 “Misi Bang, numpang tanya kalau aula kampus dimana yah?” kata Adi dengan santun.
“dari sini lurus, ketemu ruangan Rektor ke sebelah kanan yak!” jawabnya ketus, bahkan tidak melihat sedikitpun raut adi yang melas. Pandangan pemuda itu fokus dengan game yang ada ditangannya.
“Makasih Bang” jawab Adi kesal.
“Mungkin semua mahasiswa di sini seperti orang itu, tak tau caranya beretika saat berbicara. Apa mungkin karena gamenya yang mengalihkan dunianya. Andai saja Game bisa membawa perubahan positif mungkin Negeri ini sudah dipenuhi dengan prestasi. Tapi nyatanya lahirlah sikap apatis dan punahlah sifat sosialis” katanya pelan sambil berjalan menunduk.
Terdengar suara musik begitu keras, Adi berlari menyangka acar seminar sudah berlangsung.
“Mas, mau kemana”.
“Seminar Kang, saya temannya Deni” jawab Adi tergesa-gesa.
“Sudah bayar belum?” dengan nada ketus
“Saya dapat undangannya” jawab Adi sedikit kesal.
“Mana mungkin dapat undangannya, kan yang dapat undangan cuma orang-orang terpilih, kalau ada buktinya nanti saya persilahkan masuk”
“Ada kok, Nih!” dengan menunjukkan undangan yang terbungkus pelastik. Adi sengaja membungkusnya dengan pelastik karena takut terkena hujan.
“Aaaah itu dapet ngambil dari mana, ko dibungkus gitu, pasti dapat nemu yah?”
“Jangan sembarang nuduh Kang, kalau tidak percaya panggil saja Deni, yang memberi saya undangan?” dengan raut yang mulai kesal
“Mana mungkin ketua kami bergaul dengan orang seperti kamu, lagi pula acara inikan untuk mahasiswa bukan anak bocah”dengan nada yang mulai tinggi.
“Abang boleh pandang saya demikian. Tapi otak manusia tak semuanya sejajar dengan usianya. Ada yang berusia muda tapi lebih berakal dari yang tua, ada pula yang seperti Abang tapi isi dan bobot otaknya tak sejajar dengan usia”.
“Maksudnya Elu ngeremehin kualitas Gua nih Bro”tangan penjaga itu mulai menggenggam kerah baju Adi.
“Lah buktinya pandangan dan tingkahlakunya bukan menandakan Mahasiswa. Mahasiswa kan otak yang aksi bukan otot yang beratraksi” sambil menunjuk ke arah jambakkan lelaki itu. Akhirnya seluruh panitia berduyun-duyun datang melihat kejadian tersebut, Deni yang melihat kejadian itu, segera memisahkan keduanya dan memberi penjelasan pada temannya.
“Dia teman Saya” tegur Deni sambil merangkul Adi.
“Haturnuhun Den” ucap Adi dengan senyum khasnya.
“Santailah, mari masuk, pilih saja tempat duduk yang kamu mau, mumpung masih kosong.
“Laah kok, masih lowong gini Den,  bukankah dijadwal mulai jam 1 siang.” tanya Adi merasa heran.
“Iyah Di, wajarlah ini sudah membudaya dikalangan kita. Orang-orang sudah tak mempedulikan dan tidak menghargai waktu. Bahkan teman-teman panitia saja masih ada yang terlambat. Padahal mereka sebagai penyelenggara.
“Apakah ini budaya masyarakat Indonesia tidak bisa menghargai waktu, bahkan generasinya pun yang dianggap agen of change tidak bisa disiplin. Apakah akan ada perubahan yang signifikan bagi negeriku dimasaku nanti jika pendahuluku seperi mereka-mereka. Tadi saja aku dianggap orang yang tak layak untuk ikut seminar. Padahal seminar ini untuk umum. Mungkin mereka memandang hanya dari luar saja. Bukankah pakaian bukan menjadi ukuran baik buruknya manusia. coba bang Deni lihat diluaran sana, banyak orang yang berpakaian rapih malah dibalik layar mereka pengedar narkotika, lihat para pemimpin kita yang terjerat kasus korupsi mereka juga berjas dan dasi tetapi nyatanya tak lebih dari penjahat bertopeng”. Tutur Deni yang merasa kecewa. Deni yang mendengar kata-kata Adi merasa terenyuh. Iya merasa menjadi mahasiswa yang ironis. Karena tidak bisa membawa perubahan yang signifikan pada Bangsanya sendiri, mungkin cakupan Bangsa terlalu luas, tepatnya pada  ruang lingkup kampusnya.
Satu jam menunggu akhirnya acara tersebut dimulai. Adi dan Deni tidak duduk berdekatan karena Deni pamit izin untu mengurusi hal-hal yang sifatnya teknis. Pembicara demi pembicara menjelaskan materinya dan membuat audiens merasa terpukau dan memberikan sorak tepuk tangan bergemuruh. Pembahasan itu semakin menarik ketika ada sesi tanya jawab. Terlihat ada remaja berpakaian kumal mengajukan pertanyaan yang mengagumkan. “Jika pemuda sebagai generasi bangsa yang mampu mengangkat integritas dan kredibilitas bangsa melalui cara bersosial dan keramahtamahannya sebagai khas Indonesia; bagaimana dengan para pemuda yang masih acuh terhadap perkembangan zaman, lalu mengapa perubahan sikap pemuda yang ketika dewasa justru mereka menyimpang dari  perilaku baiknya, seperti menjauhi ulama dan gurunya, berani menjerumuskan diri dalam pergaulan bebas dan berkutat sepenuhnya pada game yang tidak memberi dampak baik baginya. Dimanakah peran pemuda jika tumbuh generasi yang demikian. Siapakah yang harus disalahkan, apakah karena orang tua di masa  kini lebih fokus pada pekerjaan, atau  kah karena para pendidik mulai tak ikhlas mendidik lantaran gajihnya tak sebanding, atau karena pemerintah lebih fokus terhadap pembangunan infrastruktur bukan dari SDM manusianya itu sendiri. Siapakah yang bertanggung jawab jika generasi kita seperti ini Pak. Ucap Adi dengan keseriusannya bertanya sambil menggerakkan tangan kanannya seolah menjadi mahasiswa kritis. Semua mata terpana tak menyangka remaja itu bisa berbicara selincah itu. Bahkan beberapa mahasiswa memberikan tepuk tangan dengan keras dan diikuti oleh peserta seminar yang lain, termasuk Deni.

Adi merasa puas dengan jawaban para pemateri seminar tadi, ia merasa bahagia bisa menghadiri acara tersebut. Apalagi setelah mendengar jawaban dari pertanyaannya yang membuat dirinya akan bisa bersekolah lagi. Ketika pertanyaannya dijawab, ia ditanya oleh salah satu pemateri tentang riwayat pendidikkannya dan dia menjawab bahwa dia tidak sekolah SMA sampai lulus. Alhasil Adi diundang oleh salah satu pemateri untuk datang ke salah satu sekolah Negeri dimana Pemateri itu menjadi pengawas sekolahnya. Sambil berjlan mengendarai motor ia bernyanyi-nyanyi dan merasakan angin yang melambai-lambai seolah Adi si tukang koran yang mempunyai masa depan. Besok pagi sekali adai berencana mendatangi Pak Anshori yang menjanjikannya beasiswa sekolah di acara seminar tadi. Adi berharap hari ini segera berlalu dan berganti hari esok yang gemilang.

“Suara adzan subuh menggetarkan telinganya, kokok ayam dihalaman belakang rumahnya seolah menjadi dering jam alarm. Dengan penuh semangat Adi segera bangun tanpa merenungkan masa depannya seperti hari-hari sebelumnya. Ia tunaikan dua rokaat dan berkomunikasi dengan tuhannya. Dalam doanya ia panjatkan semoga cahaya terang ini bukanlah fatamorgana seperti apa yang sering dijanjikan oleh para calon-colon pemimpin. Adi membawa semangat subuhnya berlabuh dijalan printis kemerdekaan untuk mendatangi sekolah yang dimaksud Pak Anshori. Karena jarak yang cukup jauh dari rumahnya ia terlambat karena macet. Budaya sekolah yang ia lihat tidak jauh berbeda dengan dulu saat ia masih sekolah. Seperti biasa anak-anak di era digitalisasi bukan belajar membaca, atau menemukan sebuah karya, melainkan sibuk bermain game sebelum masuk ke kelasnya. Adi yang sedang duduk di sudut halaman sekolah melihat pemandangan yang tidak biasanya, yah banyak sekali anak-anak berkumpul tanpa saling berbicara dan mengobrol, pandangan mereka fokus dengan masing-masing gawainya. Entahlah Adi yang bukan siapa-siapa di sekolah ini hanya bisa berprasangka dan berprasangka. Jika sudah begini siapakah yang harus disalahkan. "Pendidikan kita jauh dari angan-angan leluhur pendiri bangsa" katanya.

Jam sekolah berbunyi. Semua siswa memasuki kelas. Karena penasaran Adi melihat kegiatan belajar mereka. Sambil berjalan menyusuri satu persatu kelas-kelas yang ada di sana. Adi termotivasi untuk belajar kembali ketika melihat kegiatan belajar di sekolah. Tiba-tiba Adi menghentikan langkahnya dan seluruh tubuhnya bergetar, matanya memerah seolah melihat pemandangan mencekam. Tatapannya fokus pada apa yang ia lihat. Sambil menarik nafas ia mencoba mengontrol emosinya. Entah apa yang ia lihat, yang jelas kali ini Adi tidak bisa menahan nafsunya dan berlari memasuki kelas. 

“Daaasar anak kurang Ajar, berani-beraninya kau menantang gurumu sendiri (sambil menarik dan menjambak rambut anak berbaju putih abu-abu), dimana akal sehat kalian, sejak kecil kalian diasuh dan diajari tatakrama oleh orang tua kalian, diberi susu dan nutrisi agar tumbuh menjadi orang yang baik, lalu disekolahkan diberi pelajaran mulai dari bahasa hingga agama. Malah kini berani menantang Guru kalian sendiri. Saya orang yang tidak lulus sekolah masih tau bagaimana menghargai dan menghormati. Kalian yang hidupnya sudah enak dijamin oleh orang tua masih belum tau caranya berterimakasih” teriak Adi yang masih terlihat emosi dan mencengkram leher anak sekolah itu. “Sudah De, sudah!. Tolong dilepaskan, kasian dia tidak bisa bernafas” pinta bapak tua yang memelas ke pada Adi. “Lihatlah Bapak ini masih peduli dengan anak tak bermoral ini. Ini bahan pelajaran untuk kalian, jika Saya melihat kejadian yang serupa seperti ini saya tidak segan segan” sambil mendorong anak itu”.

kejadian ini memicu keramaian di kelas itu, bahkan seluruh dewan guru dan masyarakat sekolah melihat kejadian ini. Adi yang tidak dikenal di sekolah itu tiba-tiba menjadi sosok yang terlihat menakutkan. Berbagai prasepsi tumbuh dari akar pikiran mereka. Ternyata salah satu siswa ada yang merekam kejadian itu, dan melaporkannya kepada orang tua anak yang dicekik Adi di kelas. Adi yang tidak ada niatan menganiaya dilaporkan oleh orang tua anak itu ke pihak yang berwajib dengan tuduhan penganiayaan anak SMA oleh Preman sekolah. Kasus ini menjadi viral dikalangan Masyarakat meskipun belum jelas kebenarannya. Harapan Andi pun tiba-tiba pupus. Ia harus berurusan terlebih dahulu dengan pihak kepolisian atas aduan orang tua siswa SMA itu. Sampai akhirnya datanglah Pak Anshori dan saksi Pak Guru Anton untuk membelanya.





Antologi Cerpen 2

Kota Bandung yang disebut kota kembang menjadi pujaan setiap insan. Tapi semua itu tidak istimewa bagi Lintang mahasiswi D3 kebidanan tingkat akhir.

Di pinggir jalan  KAA lintang duduk merasa kesal dengan semua yang terjadi, menganggap Tuhan tak adil memperlakukan dirinya. Setelah kuliahnya harus ia relakan tertunda karena tak ada biaya. Usaha ayahnya bangkrut, ditipu oleh rekan kerja. Semua itu berimbas pada anak-anaknya salah satunya Lintang. Malam ini wanita berambut panjang itu kembali mengutuk diri dengan bermabuk. Bukan pendidikannya saja yang hancur, kisah asmaranya pun dengan Ferdi terbilang tragis. Lelaki pilihannya itu pergi begitu saja setelah tau Lintang tak seasik dan senikmat dulu. Semua ini tidak lain ulahnya sendiri yang dulu terlalu santai dengan kuliah dan lebih memilih hiporia yang tiada habisnya.

Tepat pukul 12.00 teman malamnya sudah habis dilarutkan ke dalam perutnya. Kata-kata kotor satu persatu dikeluarkan pada siapa pun yang melintas dihadapannya. Pengaruh alkohol itu semakin membuatnya tak sadar. Beberapa pejalan kaki harus rela menerima umpatan yang tak senono dari mulut mungil yang sudah tak bergincu itu. Mereka mengira wanita itu sudah tak waras, sehingga tak begitu memperdulikan. Lintang kina menari bebas di tepi malam yang begitu gelap gulita tanpa siapapun yang memberinya cahaya. Tiba-tiba Ia merasa tubuhnya dihantam terjangan ombak lalu kemudian dihempaskan di tubir pantai yang kotor dan menjijikkan, sampai ia tersadar dari sampan mabuknya.

"Hei, Hei, Hei sedang apa kau disini seperti orang gila?" tanya pemuda barusan mencioratkan air pada wajah LIntang.

Terserah aku, sesukaku, apa urusannya denganmu. Jawabnya ketus. "Ini lagi, pakaianku sampai basah akibat ulahmu".

"Maaf, maaf habis aku tidak tau bagaimana menyadarkanmu dari mabuk. Jadi kusiram saja biar sadar. Sejak kapan kamu hobi seperti ini. Bukankah Lintang yang aku kenal hidup dengan kemewahan dan tidak suka hidup dengan kesendirian".

Lintang menatap tajam wajah lelaki itu, seolah harimau yang siap mencengkram mangsanya. Tetapi tiba-tiba ia justru tertawa dan bersandar.

"Semua itu hilang dan musnah seketika. Semua orang di sekelilingku satu persatu hilang. Termasuk kekasihku Ferdi.
Aku hidup dalam kesendirian hanya minuman ini yang sanggup menemani malamku. Tuhan begitu kejam, mencabut semua kebahagiaanku"

"Tuhan tidak seperti itu. Tuhan yang kukenal bukanlah Tuhan yang kau maksud".

"Lantas apa mauNya membiarkanku terlena dalam kegelisahan dan kegundahan tanpa harta dan kasih sayang" tanya Lintang dengan intonasi tinggi.

"Nanti kau akan tau jawabannya setelah kau mengambil benang merah dari perjalanan hidupmu. Ketahuilah nafas yang kau peroleh saat ini pun adalah pemberian darinya, kau harusnya bersyukur. Apa pernah kau merasa cukup, kemudian bersyukur pada tuhanmu?"

Lintang kembali meredup dan terdiam. Entah apa yang sedang ia pikirkan.

"Kau lupa Lintang saat dulu kau menghabiskan hartamu sesuka hati. Hanya untuk menghidupi dirimu dan nafsumu sendiri. Aktivitas kebanyakan mahasiswi kebidanan atau keperawatan memikul hobi shopping dan berkencan dengan pasangannya. Tetapi kau justru lebih parah dari mereka. Bukankah dulu kau pernah menolakku yang bermodalkan cinta dan prestasi; lantas kau pilih lelaki  bermobil itu yang hobinya memodifikasi dan bermain wanita. Lalu kemanakah dia disaat kau terjerat dalam kegelapan ini. Apa hartanya berguna saat kau terpuruk?" Tanya Ardi lelaki yang menghampiri Lintang. "Sudah berapa lelaki pula kau samaratakan menganggapnya teman biasa dengan perhatianmu yang membuat mereka terjebak dengan cinta, salah satunya aku pula".

"Tapi semua itu kulakukan demi kebahagiannku. Aku hanya bersikap baik pada orang yang sudah baik denganku" ucap Lintang.

"Apa itu yang dinamakan balasan kebaikkan, kau sampai rela menemani mereka kencan sampai pagi dan itu kau anggap biasa. Setelah itu kau rayu mereka untuk memenuhi segala kemauanmu dan lambat laun kau menghindar dan menjauhinya. Apa itu yang dinamakan balasan kebaikkan ?" Nada Ardi semakin meninggi.

Plaaaak"  tamparan yang langsung meninggalkan jejak pada pipi Ardi.

"Silahkan  kau gampar  aku sesukamu!
Aku tau Tang, bahkan aku selalu berdialog dengan malam agar ia menjagamu dari bisikan setan mana pun"

"Kau bisa tau semua itu dari siapa?" tanya Lintang seolah tidak menyangka Ardi mengetahui semua itu.

"Tidak penting aku tau dari siapa, yang jelas semua keburukkanmu aku tau bahkan saat kau hend....." Ardi berhenti tak melanjutkan kata-katanya karena Lintang mencekal perkataan Ardi.

"Cukup Ardi, aku tidak mau kembali mengingat masa laluku yang kelam. Biarkan semua itu larut dengan minumanku. Biarkan aku menari dengan lampion di simpang jalan, biarkan aku sendiri ikut hancur dengan kenangan dulu." Lintang menangis dan menghempaskan air matanya pada bahu Ardi. "Cukup, C..uku..p" sambil terbata-bata lintang menangis sejadi-jadinya.

Contoh Surat Lamaran Pekerjaan yang Dibutuhkan Oleh Industri dan Instansi

            Surat lamaran pekerjaan merupakan surat resmi yang ditujukan untuk instansi atau lembaga yang bertujuan untuk mendapatkan pekerj...