"Lakon Para Wayang"
Aku menghela nafas saat bercerita pada gelapnya sunyi
Sebuah naskah berisi problematika negeri yang menjadi-jadi
Kisah ini cukup kusematkan pada pijar yang bernyanyi tanpa musikalisai
Kau tau ?...
Hei apa kau juga tau ?...
Cukup kita yang rendah
Mampu mencium lakon yang lumrah
Jutaan mata berkedip cepat mencari ranum cahaya menderang
Tapi Aku---sudah tak sanggup mendekap sinar; uluran kebenaran
Semua mengaku benar sebagai insan pilihan
Memproklamirkan di atas mimbar menjulang
Bahwa; pancasilais, nasionalis, agamis, bermartabat, dan merakyat adalah kain suci yang selalu dikenakan
Mereka bertaruh kekuasaan dan kerakusan demi kursi yang dikeramatkan
Memfonis keadilan dengan standar rendahan
Menyajikan kebohongan sebagai wujud imitasi kebenaran
Sampai tergapai kesejahteraan untuk memenuhi celengan kemanusiaan.
Huuust...!
Kau tau ?...
Apa kalian tau?...
Ironisnya lakon ini menjadi pangkal pijakan bagi penonton para wayang
Membenarkan segala cacian yang dihalalkan
Membela secarik sabda yang telah dilontarkan di atas pagelaran; sandiwara
Dan kemudian penonton bertepuk tangan hiporia
Bersorak-sorak mendesak nurani
Berjaya menginjak pekerti.
Kronjo, 14 Oktober 2018
"Kalut"
Dari balik etalase empat persegi
Kupandang jalan berwajah sepi
Mengundang dahaga pelancong kota,
mengocok perut yang mulai murka
Arah langkah sudi menepi
Memesan hidangan yang penuh isyarat
menggoda syahwat empat puluh derajat
Segelas teh hangat;
Seteguk teh yang melebur pilu
Dekaplah jiwaku dengan hangatmu
jika memang mampu, tak usah ragu, renggutlah nafsu, setubuhi nafasku
agar kau tau kalutnya merindu
Sebatang lisong mencoba membantu
dengan tubuhnya yang molek dan lugu
Kuhisap gumpalan asap pekat dari tubir manisnya,
lalu merasuk mengkebiri segala harap penuh dusta
Lepaslah aku dari rindu menjeruji
Yang kau rangkai dengan kanvas sandiwara
Tak ada lagi Isak yang bernyanyi
cukup rencana dan karma jawabnya.
Jatiuwung 18, Oktober 2018.
"Rumahku"
Harus bagaimana lagi kutata rumahku
Yang anggun dan elok dengan lambang garudanya
Perkasa dengan warna merah putihnya
Kokoh tegak dengan pondasi pancasila dan undang-undang dasar 1945
Ruang tamuku sejuk dengan ragam agama dan budaya.
Perabotan rumahku unik dan antik Terpampang barang antik kelas tinggi yang menarik
Mulai dari lukisan Masjid, Klenteng, Pura, Piara, hingga Greja.
Hanya ada di rumahku ini karunia Tuhan tak terhingga.
Namun saat kau datang seolah bertamu
merangkulku dengan kamuflase ilmu
Menyambangi ruang suci, menetap di sudut nyata
Lalu berkata:
"Heei Rumahmu tak berpondasi kuat !,
Warnanya begitu tamaram tak bersimbolik jauh dari syariat !,
Dan hiasan-hiasan ini terlalu rancuk, cukuplah satu yang sesuai imanmu !. Ruang-ruang penuh pait ampedu,
Aromanya memburu semerbak nafsu !".
Aku menangis meratap perih
Meraba segala kata yang menikam raga
Merobek asa leluhur pembangun bahtera
dari menata hingga berdiri rumahku sejahtera.
Wahai seksama sahabat dan saudara
Tak usah kau datang merubah seisi rumahku
Cukuplah kau tinggali dengan sejatimu
Mencintai perbedaan rumah-rumah di sekelilingmu dan menyadari kita berpijak di tubuh rumah yang sama.
Tangerang, 01 November 2018.
"Musim Dingin"
Aku membawamu dalam heningku
di saat hujan tak sanggup mengeluh
Memberimu ruang di sela pekik gemercik
yang kuyup membasahi rasaku
Kahangatan itu kau cipta dengan cinta
Mengalir lembut menyentuh relung tanya
Merawat dan menjaga alir nadi yang terluka
Sejiwa berkontemplasi pada angan sejak lama
Cobalah menetap tinggal memberi nyawa
Pada diri ini yang mengekang rasa
Menghidupi gelapnya sunyi
Menjadi pelita temaramnya sepi.
Tangerang, 11.11.2018
"Tepi Sungai Plipur Lara"
Sore ini kucoba membersamai senja yang ranum
Dari tubir sungai penuh sesak
Kubawa isi hatimu tuk berpijak
Di bawah rangkum mega yang kuntum
Percakapan pun kumulai dari deretan bunga pemeluk pagar
Sengaja kusapa dia, agar tak mudah jatuh tetap hingar.
Pelataran damai coba mengendapkan bayangmu
Mengobati sisa-sisa dentuman hebat meninggalkan sisa material masa lalu
Beku, menggumpal bola gas tanpa asap
Aaaaah.....!!!!
Lupakanlah itu prolog; masa dimana namamu asing di kertasku
Semoga dari namamu lah tintaku mengalir tanpa sembilu
Pun nafasku berhembus tak memburu
di sepertiga malam ketika kumembujuk rayu.
Taman Gajah Tunggal, 2018.
No comments:
Post a Comment