Sunday, November 5, 2017

Mimpi Penghuni Rumah Kaleng

Mimpi Penghuni Rumah Kaleng

Hiruk pikuk bisingnya kota sudah menjadi intonasi yang menggema pada telinga penghuni pinggiran kota. Rumah-rumah yang tak ajeg, kadang merintih akan terpaan angin yang seskali diiringi hujan. Kawasan ini terbilang tak layak untuk kehidupan manusia yang diciptakan dengan kesempurnaan. Ditambah mereka sedikit terisolasi dari kemewahan kota metropolitan.  Pandangan masyarakat elit tak bisa sejajar dengan sudut pandang penghuni rumah-rumah kaleng di kawasan itu, mereka hanya menganggap segerombolan orang disana sebagai mahluk yang tak berguna dan hina. Seringkali kawasan ini dikunjungi aparat pemerintah, seperti Gubernur, Bupati beserta jajarannya untuk memantau langsung. Tak tertinggal janji-janji yang mereka bawa dalam kerangka naskah palsu yang menyejukan hati dan menumbuhkan harap baru di hati penghuni rumah kaleng, tapi sampai yang muda menjadi tua, kecil bertumbuh dewasa, tetap saja kawasan ini termarjinalkan dari ayunan manja Negeri ini.
“Bu, kau tau anak kita sekarang sudah ingin sekolah?”
“Iyah Pak, lalu kita harus bagaimana Pak, apa perlu kita gadaikan rumah kaleng reot ini ke rentenir, tak mungkin laku kan pak!”
“Huuus, ngomong ko tanpa disaring Bu”
“Yah mau bagaimana lagi, Tuhan sepertinya sudah lupa dengan kepayahan kita, padahal setiap datang waktu ibadah kita tak pernah lupa, tapi dari awal kita menikah sampai punya dua anak, masih saja menetap di kawasan kumuh ini, sampai-sampai kita harus rela membiarkan Romli tak sekolah lagi”.
“Istighfar Bu, kita ini hanya kurang bersyukur saja Bu, dulu kita ditimang-timang oleh harta yang serba cukup, ketika aku masih menjadi kepala desa. Semua orang menghormatiku dan tunduk akan perintahku. Romli bisa bersekolah dan keinginannya selalu terpenuhi. Barang-barang kita serba mewah dengan kendaraan yang komplit. Tapi semua itu tidak memuaskan kita, padahal jalan hidup kita yang dulu serba lancar laksana kendaraan yang melaju di jalan tol. Sampai akhirnya bisik-bisik setan itu menyelinap ke hatiku Bu, dan teman-teman kerjaku tergiur dengan uang suap dari penanam-penanam saham yang menawarkan uang berpuluh-puluh juta satu orang saja bisa mendapatkan 50 samapai 100 juta. Siapa yang tidak melirik uang sebanyak itu Bu, bahkan kala itu kau pun menyuruhku untuk mengambil tawaran tersebut, sampai akhirnya aku beserta jajaranku menerima suap itu. Belum lagi beberapa bantuan daerah yang kita timbun untuk memperkaya diri di masa dulu Bu, karena kita selalu mengukur dari modal yang telah dikeluarkan saat mencalonkan diri menjadi kepala desa. Biayanya tak sedikit sampai kita menjual sawah berhektar-hektar pada waktu itu, dan ketika terpilih menjadi lurah, aku selalu berkeinginan mengorupsi segala jenis bantuan dan sebagaianya. karena bisikan itu bicara bahwa modalku tak sebanding dengan gajih seorang lurah. Tapi Allah tidak buta bu, Allah membongkar rahasia-rahasia kita itu dengan mengutus mahasiswa yang bekerja di kantor kita, ia melakukan penelitian akan anggaran pengeluaran yang tidak sesuai dengan kenyataan. Dari situlah aku terciduk polisi dan dalam sekejap kehidupan kita berubaah dan berbalik. Itu adalah buih kecongkakan kita Bu, maka sudah seharusnya kita mensyukuri nikmat yang diberi saat ini ”
“Sampai kapan kita harus terus-terusan bersyukur dengan kehidupan kita Pak, apa perlu rasa syukur kita ditabung, sampai kita diambilNya. Sekedar mengisi perut saja kita sering memkan bawang prei setengah busuk, labuh siam busuk dan nasi pera. Kapan kita bisa kembali layaknya dulu. Mengisi perut dengan nasi putih panas, daging rendang yang kental dan sayur sop iga yang hangat. Kapan pak?”
“Mungkin Tuhan masih sayang dengan kita, sehingga ingin menguji kia sedikit lama. Lagi pula hidup di dunia ini hanya hiasan belaka Bu, selebihnya akhirat yang kekal menentukan nasib kita.
“Sudahlah Pak aku capek ingin mencari botol-botol bekas dulu”.
Tak sengaja percakapan itu pun terdengar oleh Romli yang hendak membangunkan adiknya, hatinya terenyuh dengan kondisi keluarganya yang tak rukun seperti dulu. Berbagai polemik keluarga bermunculan satu persatu, sampai adiknya pun kecipratan masalah keluarganya. “Dik bangun sudah saatnya kita melancong mencari mobil-mobil bekas dan pesawat terbang.
“Iyah Bang, Amin sudah buka mata, Amin kepingin peswat yang besar hari ini” sambil menguap-nguap.
 Yah itulah ajaran Romli pada adiknya yang menggambarkan botol besar sebagai pesawat-pesawatan dan botol kecil sebagai mobil-mobilan, sehingga benda-benda itu sangat berharga bagi adiknya Amin walaupun akhirnya dikilo di tukang loak. Hubungan mereka sangatlah erat seperti embun dan rumput. Namun kali ini Amin merasa sedih karena tak bisa bersekolah sebagaimana teman seumurannya. Sepanjang perjalanan mencari pesawat-pesawartan, anak kecil itu menghentikan arus langkahnya jika menjumpai sekolah. Ia berhenti dan memandangi bangunan-bangunannya, sesekali mendekati kelas yang didalamnya banyak anak-anak yang sedang belajar, dan jika sudah merasa puas atau sudah diperingati kakaknya untuk melanjutkan kembali, Amin tak lupa memberi hormat pada sang saka merah putih yang berkibar di tiang bendera. Romli sebenarnya tau dengan apa yang diinginkan adiknya, tapi apalah daya lembaran nominal itu seperti menafikkan dirinya dan juga keluarganya. Uang hasil memulung saja tak cukup untuk sehari-hari apa lagi untuk modal sekolah. Romli sendiri sebenarnya memendam mimpinya menjadi ahli hukum hebat dan jujur, agar kelak ia bisa memenjarakan para koruptor yang dianggapnya sebagai sampah Indonesia. Tapi pandagan masyarakat justru menilai koruptor sebagai manusia terhormat dengan gemerlap hartanya. malah penghuni rumah kalenglah yang dianggap sebagai sampah-sampah masyarakat. Sebenarnya Romli adalah anak yang cerdas disekolah, seharusnya ia sudah duduk di kelas 12 jika sekolahnya lancar. Dua tahun silam memang keadaan Negeri ini sedang dirundung krisis ekonomi, semua bahan pokok dan kebutuhan dapur melonjat harganya, belum lagi uang listrik yang ikut naik sehingga mengekang keluarganya. Orang tua Romli memintanya untuk tidak bersekolah lagi. Awalnya ia sedikit kesal dan sedih dan merasa kesal akan permasalahan yang menimpa keluarganya. Namun Romli bukanlah pemuda yang mudah menyerah dalam belajar, mungkin di sekolah formal ia sudah tak mampu mengikuti pembelajaran tetapi di sekolah anak jalanan Romli sering datang tepatnyan di perkumpulan taman belajar yang tersedia satu-satunya di dekat rumahnya. Dari sanalah Romli menuntut ilmu sampai ia sedikit faham dengan permasalahan Negri ini dan aktor-aktor yang membuat Negri ini menjadi rumah yang asing bagi pribumi, syurga bagi mereka yang asing.  
Sepanjang perjalanan mereka tak henti-hentinya mengobrol dan tertawa. Karena Amin masih anak yang polos dan belum mengerti apa-apa. Ia kadang bertanya tentang sesuatu yang tak terlintas di pikiran Romli.
“Bang, presiden itu apa sih?”
“presiden seorang pemimpin Dek”
“Kalau pemimpin berarti harus memimpin yah Bang, kata Ibu kalau bercerita tentang Nabi Muhammad beliau itu seorang pemimpin dan selalu mempedulikan umatnya, lalu kok Pak presiden tidak mempedulikan kita?”
“Abang juga gak tau Dek, sejak Abang kecil rumah kita masih bergoyang-goyang andai tertiup angin. Halaman di lingkungan kita pun tak pernah direnovasi seperti kawasan-kawasan elit Dek. Andai pemimpin kita lebih peduli yah Dek. Mungkin kamu bisa sekolah dan Abang bisa melanjutkan sekolah lagi, yang jelas Presiden itu terpilih karena rakyat termasuk orang-orang seperti kita ini”
“Asik kalau presiden  terpilih karena rakyat berarti kawasan kita akan diperbaiki dong Bang dan rakyat yang tak mampu bisa sekolah” pungkas Amin sambil berjongkrak-jongkrak gembira.  
“Semoga saja yah dik” dengan wajah yang tak yakin. Namun dalam hati, Romli menjerit ingin menceritakan kamuflase wajah Negeri ini pada Amin, andai dia sudah dewasa mungkin Romli tak segan-segan lagi berdiskusi dengan adiknya itu.
            “Tok,tok,tok Pak buka pintunya Pak, Pak cepat sedikit Pak” dengan tergesa-gesa dan dihantui rasa takut. Beberapa kali Ibu Romli menggedor gedor pintu rumahnya seperti orang yang dikejar-kejar hantu. “iyah Bu tunggu”. Setelah dibuka cepat-cepatlah pintu itu ditutup kembali oleh wanita yang sudah berkeringt deras itu. “ada apa Bu, kok seperti ketakutan dikejar-kejar hantu” tanyanya. “Ibu hampir saja ditangkap Satpol PP Pak, makannya Ibu lari”sambil melihat di jendela memantau apa masih dikejar atau tidak”.
“Aku tak mengerti pak mengapa orang-orang seperti kita ini masih saja ditangkap, padahal jika kita digiring ke kantor polisi, apa yang bisa diharapkan dari kita? Segala sesuatu kita tidak punya, selain harga diri Pak. Pekerjaan kita ini halal memunguti sampah yang masih bisa dijual. Bukan seorang pencuri-pencuri uang negara bermiliar-miliar. kita ini bukan penyebab menumpuknya hutang di Negeri ini kan Pak? Justru kita ini manusia-manusia yang kurang diperhatikan oleh pemerintah, dan sangat butuh uluran tangan mereka. Malah orang-orang seperti kita ini yang membuat pelataran-pelataran negeri ini bersih dari sampah. andai saja aku bisa memungut sampah-sampah masyarakat itu yang merugikan negara kita, pasti sudah kusejajarkan dengan tumpukan kardus dibelakang. Lalu aku dengar rumah ibu Pak, rumah ibu! yang ada dikampung sebelah akan segera digusur satu kampung, alasan pemerintah bermacam-macam agar aliran sungai tidak tersendatlah bertujuan untuk pembuatan taman lah, mensterilkan kawasanlah, meminimalisir kepadatan penduduklah, tapi alasan itu tidak akan sesuai dengan realitanya! kita tunggu saja nanti perkembangannya, semua itu pasti bohong! setelah sudah digusur mereka bangun gedung-gedung yang menjulang dan tempat-tempat perbelanjaan. Buktinya sudah ada dari pengalaman kita dahulu. Sebenarnya hak kita itu apa saja siih Pak sebagai warga pribumi, kita juga manusia yang sama punya harga diri yang tidak seenaknya diinjak-injak Pak. Apa ada unsur suap menyuap yang terselubung di balik semua ini? jika ada, mengapa polisi tidak menciumnya, malah meraziai orang-orang seperti kita ini.” kata-kata itu terlontar begitu saja mengalir dengan derasnya dari mulut seorang pemulung wanita. Air matanya pun mengalir dengan sendirinya dihadapan suaminya”. Hanya pelukan yang mampu diberikan suaminya itu untuk meredakan emosi istrinya
Suasana menjadi hening rumah kaleng itu seperti perisai terakhir bagi mereka untuk  berlindung. Tiba-tiba ada sesorang yang mengetuk-ngetuk pintu. “Tok,tok,tok Pak Jamil ini Pak RT!”
“Walah Pak RT, masuk Pak”
“Disini saja lah Pak, oh iya Pak, Bapak punya KTP?”
“Belum jadi Pak, Padahal saya sudah dua bulan lalu membuatnya di kecamatan, tapi bsampai sekarang belum jadi Pak RT”
“Waaah sayang sekali padahal ada program bedah rumah Pak, rumah Bapak kan sudah reot nih saya kira layak untuk direnovasi, tapi syaratnya harus ada KTP, jika tidak ada terpaksa saya ganti dengan keluarga yang lain. Soalnya hari ini juga data-datanya harus saya serahkan ke Pak Lurah”
“Ya sudahlah Pak mungkin belum jodoh keluarga kami”dengan rasa kecewa.
            Kehidupan teruslah berputar begitu cepat, rumah kaleng itu menjadi saksi betapa pedihnya kehidupan keluarga Romli.
Sepulangnya memulung, mereka ikut berkecimpung di taman baca. Romli tak pernah ketinggalan mengikuti kajian anak-anak jalanan yang dipimpin oleh salah satu mahasiswa ternama di Indonesia. Mahasiswa itu mendirikan taman baca untuk umum, bahkan membagi jadwal untuk para pemuda-pemuda yang putus sekolah seperti Romli, atau pengamen-pengamen yang remaja. Disela-sela kegiatan belajar mereka, mahasiswa itu menyisipkan diskusi kepudilian rakyat untuk negeri. Tujuannya agar kaum-kaum yang tidak mengunyah pendidikan formal bisa lebih terbuka wawasannya dan tidak tertinggal derasnya arus informasi. Sedangkan Amir yang masih kecil memilih antuk bermain petak umput dengan teman-temannya yang lain.
“Diskusi kali ini bertemakan “Tinta Hitam” semua peserta akan dijabarkan dulu oleh teman-teman mahasiswa apa yang dimaksud dengan tinta hitam ini” ujar salah satu mahasiswa yang berambut ikal itu. Tak disangka para anak-anak muda di TBM itu yang belum paham benar dengan diskusi sangat antusias dan menyimak pemaparan yang sedang dipaparkan.
“perlu kita ketahui teman-teman semua bahwa bumi yang kita tinggali ini sudah banyak dicuri oleh pribuminya, negeri ini sudah penuh dengan tinta hitam tanpa diimbangi dengan tinta emasnya. Yang dimaksud dengan tinta hitam adalah peristiwa yang mencoreng nama bangsa salah satunya adalah kasus korupsi. Mereka para koruptor yang tak sedikit mencuri uang rakyat hingga terliunan tidak pernah berfikir panjang akan kesejahteraan rakyat. Coba kita pandang disekeliling kita, masih banyak manusia-manusia yang tak mampu bersekolah, tak ada berteduh, makan seadanya, ekonomi mencekik, bahkan identitas pengenal pun tak punya. Sungguh mirisnya Negeri ini hartanya melimpah tapi yang mencurinya pun lebih berlimpah. Belum lama ini Indonesia dirundung kasus E-KTP, yah dana untuk pembuatak identitas pengenal kita atau kartu penduduk juga ikut dicuri oleh para tangan-tangan ghoib yang dengan kasap mata tidak terlihat, tapi nyata dampaknya mengeroposkan negara ini. Wahai generasi muda 2,3 triliun bukanlah nilai yang kecil, jika digunakan untuk infrastruktur negara ini bisa membuat ribuan sekolah, dan rusun yang diperlukan untuk masyarakat yang tidak mampu. Kini ratusan masyarakat masih terbengkalai menunggu KTP mereka jadi, dan menunggunya pun bukan dalam jangka waktu yang pendek. Negeri ini semakin keropos oleh ulah orang-orang zolim seperti para koruptor. Itu baru satu yang kita bahas belum lagi kasus korupsi pembangunan pusat olahraga  Hambaalang di Bogor, dan juga pengadaan simulator surat izin mengemudi  di korps lalu lintas polri dan perkara korupsi komunikasi radio terpadu di kementrian kehutanan berturut-turut mengakibatkan kerugian negara. Sungguh malam nasib negeri ini Nak”.
            Diskusi mereka semakin ramai dengan ditambahkan pemaparan dan argumen-argumen dari beberapa mahasiswa yang laian, tak kalah Romli pun ikut menambahkan pendapatnya.
“menurut saya korupsi itu datang dengan diawali minimnya ketidaksukuran dalam hidup” tambah Romli.
“Iyah betul Romli, bisa saja korupsi datang dari minimnya rasa syukur yang memancing keinginan untuk memperkaya diri secara praktis” ucap salah satu mahasiswi menyauti tanggapan Romli.
Dalam sanubari mereka bergetar dan semanagat pemudanya pun seolah ingin mambasmi tikus berjas dan dasi itu. Walau diantara remaja-remaja jalanan ini ada yang menegerti, tetapi tida dengan nurani mereka yang terketuk akan rintihan negeri ini, apalagi setelah menegtahui kerugian yang menimpa bumi yang ia tianggali.
           
         “dampak dari ulah tangan-tangan berkulit api itu sangatlah merugikan masyarakat dan negara. Dari korupsi e-ktp saja bisa terhitung masalah yang dihadapai oleh masyarakat. Keterlamabatan jadinya e-ktp menghambat akses masyarakat yang seringkali menggunakan ktp sebagai persyaratan-persyaratan tertentu. Yang seharusnya anggaran negara yang lain untuk membenhi negara justru malah akan terpakai untuk menutupi anggaran e-ktp, dan menambah angka hutang negeri ini.  Tindak korupsi mampu menyebabkan sumber daya alam ini semakin tidak terkendali. Dilihat dari eksploitasi besar-besaran tanpa memeperhatikan daya dukung lingkungan, sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang amat parah. Seperti penebangan hutan secara liar tanpa adanaya prosedur yang benar biasanya diiringi dengan kasus sogok menyogok yang menguntungkan sebelah pihak namun merugikan alam dan masyarakat. Sebenarnya yang perlu teman-teman ketahui korupsi ini bisa hadir diberbagai lini negeri ini. Dalam pendidikan dia bisa timbul yah contohnya banyak sekali instansi-instansi pendidikan yang tercium kasus korupsi, enatah dari dan BOS lah atau dari anggaran yang laiannya, dampaknya jelas infrastruktur sekolah dan SDM guru tidak akan berintegritas justru malah merugikan siswa. Mungkin jika di negeri ini sudah tidak ada yang korupsi Indonesia menjadi negara terkaya di Asia bahkan mampu mengalahkan Dubai. Tidak ada lagi masyarakat yang putus sekolah. Jadi kita harus menolak keras dan lawan apa yang dinamakan korupsi. Sepakat?”
“ SEPAKAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAT!”
           
Sepulang dari tempat itu Romli sangat bersemngat, ia sangat menolak keras akan aksi-aksi para koruptor di bumi tercinta. Angannya hanya satu mampu memberikan yang terbaik untuk Indonesia, meski saat ini dia belum mampu untuk melanjutkan pendidikannya, tapi ia yakin bahwa suata saat nanti ada uluran untuknya meraih prestasi dan menjadi orang y penting di negeri ini. Tekat pertamanya adalah memrangi para koruptor.
“Malam ini kita harus bermimpi yah dik, menjadi orang yang heba agar negeri ini tidak menderita lagi seperti sekarang ini.
“Oh iyah Bang aku ingin buat surat kaleng untuk Pak presiden agar bisa sekolah”
“Emangnya kamu bisa Dek, kok kamu tau surat kaleng segala sih?”
“Iyah aku belajar dari kk mahasiswa tadi, tapi nanti Abang yang menulisnya yah, dan aku yang mengutarakan hehe” dengan wajah yang polos.

Sore itu pun mereka mulai bercita-cita dan bersemangat menyambut hari-hari berikutnya sampai akhirnya Romli dikejutkan oleh dua orang polisi yang membawa Bapaknya ke dalam mobil. Entah apa yang membuat Bapaknya digiring ke kantor polisi. Tapi Romli percaya bahwa bapaknya sudah berubah dan tidak akan mengulangi hal yang sama.






2 comments:

Contoh Surat Lamaran Pekerjaan yang Dibutuhkan Oleh Industri dan Instansi

            Surat lamaran pekerjaan merupakan surat resmi yang ditujukan untuk instansi atau lembaga yang bertujuan untuk mendapatkan pekerj...