Mimpi
Penghuni Rumah Kaleng
Hiruk
pikuk bisingnya kota sudah menjadi intonasi yang menggema pada telinga penghuni
pinggiran kota. Rumah-rumah yang tak ajeg, kadang merintih akan terpaan angin
yang seskali diiringi hujan. Kawasan ini terbilang tak layak untuk kehidupan
manusia yang diciptakan dengan kesempurnaan. Ditambah mereka sedikit terisolasi
dari kemewahan kota metropolitan.
Pandangan masyarakat elit tak bisa sejajar dengan sudut pandang penghuni
rumah-rumah kaleng di kawasan itu, mereka hanya menganggap segerombolan orang disana
sebagai mahluk yang tak berguna dan hina. Seringkali kawasan ini dikunjungi
aparat pemerintah, seperti Gubernur, Bupati beserta jajarannya untuk memantau
langsung. Tak tertinggal janji-janji yang mereka bawa dalam kerangka naskah
palsu yang menyejukan hati dan menumbuhkan harap baru di hati penghuni rumah
kaleng, tapi sampai yang muda menjadi tua, kecil bertumbuh dewasa, tetap saja kawasan
ini termarjinalkan dari ayunan manja Negeri ini.
“Bu,
kau tau anak kita sekarang sudah ingin sekolah?”
“Iyah
Pak, lalu kita harus bagaimana Pak, apa perlu kita gadaikan rumah kaleng reot
ini ke rentenir, tak mungkin laku kan pak!”
“Huuus,
ngomong ko tanpa disaring Bu”
“Yah
mau bagaimana lagi, Tuhan sepertinya sudah lupa dengan kepayahan kita, padahal
setiap datang waktu ibadah kita tak pernah lupa, tapi dari awal kita menikah
sampai punya dua anak, masih saja menetap di kawasan kumuh ini, sampai-sampai
kita harus rela membiarkan Romli tak sekolah lagi”.
“Istighfar
Bu, kita ini hanya kurang bersyukur saja Bu, dulu kita ditimang-timang oleh
harta yang serba cukup, ketika aku masih menjadi kepala desa. Semua orang
menghormatiku dan tunduk akan perintahku. Romli bisa bersekolah dan
keinginannya selalu terpenuhi. Barang-barang kita serba mewah dengan kendaraan
yang komplit. Tapi semua itu tidak memuaskan kita, padahal jalan hidup kita
yang dulu serba lancar laksana kendaraan yang melaju di jalan tol. Sampai
akhirnya bisik-bisik setan itu menyelinap ke hatiku Bu, dan teman-teman kerjaku
tergiur dengan uang suap dari penanam-penanam saham yang menawarkan uang
berpuluh-puluh juta satu orang saja bisa mendapatkan 50 samapai 100 juta. Siapa
yang tidak melirik uang sebanyak itu Bu, bahkan kala itu kau pun menyuruhku
untuk mengambil tawaran tersebut, sampai akhirnya aku beserta jajaranku
menerima suap itu. Belum lagi beberapa bantuan daerah yang kita timbun untuk
memperkaya diri di masa dulu Bu, karena kita selalu mengukur dari modal yang
telah dikeluarkan saat mencalonkan diri menjadi kepala desa. Biayanya tak
sedikit sampai kita menjual sawah berhektar-hektar pada waktu itu, dan ketika
terpilih menjadi lurah, aku selalu berkeinginan mengorupsi segala jenis bantuan
dan sebagaianya. karena bisikan itu bicara bahwa modalku tak sebanding dengan
gajih seorang lurah. Tapi Allah tidak buta bu, Allah membongkar rahasia-rahasia
kita itu dengan mengutus mahasiswa yang bekerja di kantor kita, ia melakukan
penelitian akan anggaran pengeluaran yang tidak sesuai dengan kenyataan. Dari
situlah aku terciduk polisi dan dalam sekejap kehidupan kita berubaah dan
berbalik. Itu adalah buih kecongkakan kita Bu, maka sudah seharusnya kita
mensyukuri nikmat yang diberi saat ini ”
“Sampai
kapan kita harus terus-terusan bersyukur dengan kehidupan kita Pak, apa perlu
rasa syukur kita ditabung, sampai kita diambilNya. Sekedar mengisi perut saja
kita sering memkan bawang prei setengah busuk, labuh siam busuk dan nasi pera.
Kapan kita bisa kembali layaknya dulu. Mengisi perut dengan nasi putih panas,
daging rendang yang kental dan sayur sop iga yang hangat. Kapan pak?”
“Mungkin
Tuhan masih sayang dengan kita, sehingga ingin menguji kia sedikit lama. Lagi
pula hidup di dunia ini hanya hiasan belaka Bu, selebihnya akhirat yang kekal
menentukan nasib kita.
“Sudahlah
Pak aku capek ingin mencari botol-botol bekas dulu”.
Tak
sengaja percakapan itu pun terdengar oleh Romli yang hendak membangunkan
adiknya, hatinya terenyuh dengan kondisi keluarganya yang tak rukun seperti
dulu. Berbagai polemik keluarga bermunculan satu persatu, sampai adiknya pun
kecipratan masalah keluarganya. “Dik bangun sudah saatnya kita melancong
mencari mobil-mobil bekas dan pesawat terbang.
“Iyah
Bang, Amin sudah buka mata, Amin kepingin peswat yang besar hari ini” sambil
menguap-nguap.
Yah itulah ajaran Romli pada adiknya yang menggambarkan
botol besar sebagai pesawat-pesawatan dan botol kecil sebagai mobil-mobilan,
sehingga benda-benda itu sangat berharga bagi adiknya Amin walaupun akhirnya
dikilo di tukang loak. Hubungan mereka sangatlah erat seperti embun dan rumput.
Namun kali ini Amin merasa sedih karena tak bisa bersekolah sebagaimana teman
seumurannya. Sepanjang perjalanan mencari pesawat-pesawartan, anak kecil itu menghentikan
arus langkahnya jika menjumpai sekolah. Ia berhenti dan memandangi
bangunan-bangunannya, sesekali mendekati kelas yang didalamnya banyak anak-anak
yang sedang belajar, dan jika sudah merasa puas atau sudah diperingati kakaknya
untuk melanjutkan kembali, Amin tak lupa memberi hormat pada sang saka merah
putih yang berkibar di tiang bendera. Romli sebenarnya tau dengan apa yang
diinginkan adiknya, tapi apalah daya lembaran nominal itu seperti menafikkan
dirinya dan juga keluarganya. Uang hasil memulung saja tak cukup untuk
sehari-hari apa lagi untuk modal sekolah. Romli sendiri sebenarnya memendam
mimpinya menjadi ahli hukum hebat dan jujur, agar kelak ia bisa memenjarakan para
koruptor yang dianggapnya sebagai sampah Indonesia. Tapi pandagan masyarakat
justru menilai koruptor sebagai manusia terhormat dengan gemerlap hartanya.
malah penghuni rumah kalenglah yang dianggap sebagai sampah-sampah masyarakat. Sebenarnya
Romli adalah anak yang cerdas disekolah, seharusnya ia sudah duduk di kelas 12
jika sekolahnya lancar. Dua tahun silam memang keadaan Negeri ini sedang dirundung
krisis ekonomi, semua bahan pokok dan kebutuhan dapur melonjat harganya, belum
lagi uang listrik yang ikut naik sehingga mengekang keluarganya. Orang tua
Romli memintanya untuk tidak bersekolah lagi. Awalnya ia sedikit kesal dan
sedih dan merasa kesal akan permasalahan yang menimpa keluarganya. Namun Romli
bukanlah pemuda yang mudah menyerah dalam belajar, mungkin di sekolah formal ia
sudah tak mampu mengikuti pembelajaran tetapi di sekolah anak jalanan Romli
sering datang tepatnyan di perkumpulan taman belajar yang tersedia satu-satunya
di dekat rumahnya. Dari sanalah Romli menuntut ilmu sampai ia sedikit faham
dengan permasalahan Negri ini dan aktor-aktor yang membuat Negri ini menjadi
rumah yang asing bagi pribumi, syurga bagi mereka yang asing.
Sepanjang
perjalanan mereka tak henti-hentinya mengobrol dan tertawa. Karena Amin masih
anak yang polos dan belum mengerti apa-apa. Ia kadang bertanya tentang sesuatu
yang tak terlintas di pikiran Romli.
“Bang,
presiden itu apa sih?”
“presiden
seorang pemimpin Dek”
“Kalau
pemimpin berarti harus memimpin yah Bang, kata Ibu kalau bercerita tentang Nabi
Muhammad beliau itu seorang pemimpin dan selalu mempedulikan umatnya, lalu kok
Pak presiden tidak mempedulikan kita?”
“Abang
juga gak tau Dek, sejak Abang kecil rumah kita masih bergoyang-goyang andai
tertiup angin. Halaman di lingkungan kita pun tak pernah direnovasi seperti
kawasan-kawasan elit Dek. Andai pemimpin kita lebih peduli yah Dek. Mungkin
kamu bisa sekolah dan Abang bisa melanjutkan sekolah lagi, yang jelas Presiden
itu terpilih karena rakyat termasuk orang-orang seperti kita ini”
“Asik
kalau presiden terpilih karena rakyat
berarti kawasan kita akan diperbaiki dong Bang dan rakyat yang tak mampu bisa
sekolah” pungkas Amin sambil berjongkrak-jongkrak gembira.
“Semoga
saja yah dik” dengan wajah yang tak yakin. Namun dalam hati, Romli menjerit
ingin menceritakan kamuflase wajah Negeri ini pada Amin, andai dia sudah dewasa
mungkin Romli tak segan-segan lagi berdiskusi dengan adiknya itu.
“Tok,tok,tok Pak buka pintunya Pak,
Pak cepat sedikit Pak” dengan tergesa-gesa dan dihantui rasa takut. Beberapa
kali Ibu Romli menggedor gedor pintu rumahnya seperti orang yang dikejar-kejar
hantu. “iyah Bu tunggu”. Setelah dibuka cepat-cepatlah pintu itu ditutup
kembali oleh wanita yang sudah berkeringt deras itu. “ada apa Bu, kok seperti
ketakutan dikejar-kejar hantu” tanyanya. “Ibu hampir saja ditangkap Satpol PP
Pak, makannya Ibu lari”sambil melihat di jendela memantau apa masih dikejar
atau tidak”.
“Aku
tak mengerti pak mengapa orang-orang seperti kita ini masih saja ditangkap,
padahal jika kita digiring ke kantor polisi, apa yang bisa diharapkan dari
kita? Segala sesuatu kita tidak punya, selain harga diri Pak. Pekerjaan kita
ini halal memunguti sampah yang masih bisa dijual. Bukan seorang
pencuri-pencuri uang negara bermiliar-miliar. kita ini bukan penyebab
menumpuknya hutang di Negeri ini kan Pak? Justru kita ini manusia-manusia yang
kurang diperhatikan oleh pemerintah, dan sangat butuh uluran tangan mereka.
Malah orang-orang seperti kita ini yang membuat pelataran-pelataran negeri ini bersih
dari sampah. andai saja aku bisa memungut sampah-sampah masyarakat itu yang
merugikan negara kita, pasti sudah kusejajarkan dengan tumpukan kardus
dibelakang. Lalu aku dengar rumah ibu Pak, rumah ibu! yang ada dikampung
sebelah akan segera digusur satu kampung, alasan pemerintah bermacam-macam agar
aliran sungai tidak tersendatlah bertujuan untuk pembuatan taman lah,
mensterilkan kawasanlah, meminimalisir kepadatan penduduklah, tapi alasan itu
tidak akan sesuai dengan realitanya! kita tunggu saja nanti perkembangannya,
semua itu pasti bohong! setelah sudah digusur mereka bangun gedung-gedung yang
menjulang dan tempat-tempat perbelanjaan. Buktinya sudah ada dari pengalaman
kita dahulu. Sebenarnya hak kita itu apa saja siih Pak sebagai warga pribumi, kita
juga manusia yang sama punya harga diri yang tidak seenaknya diinjak-injak Pak.
Apa ada unsur suap menyuap yang terselubung di balik semua ini? jika ada,
mengapa polisi tidak menciumnya, malah meraziai orang-orang seperti kita ini.”
kata-kata itu terlontar begitu saja mengalir dengan derasnya dari mulut seorang
pemulung wanita. Air matanya pun mengalir dengan sendirinya dihadapan
suaminya”. Hanya pelukan yang mampu diberikan suaminya itu untuk meredakan
emosi istrinya
Suasana
menjadi hening rumah kaleng itu seperti perisai terakhir bagi mereka untuk berlindung. Tiba-tiba ada sesorang yang
mengetuk-ngetuk pintu. “Tok,tok,tok Pak Jamil ini Pak RT!”
“Walah
Pak RT, masuk Pak”
“Disini
saja lah Pak, oh iya Pak, Bapak punya KTP?”
“Belum
jadi Pak, Padahal saya sudah dua bulan lalu membuatnya di kecamatan, tapi
bsampai sekarang belum jadi Pak RT”
“Waaah
sayang sekali padahal ada program bedah rumah Pak, rumah Bapak kan sudah reot
nih saya kira layak untuk direnovasi, tapi syaratnya harus ada KTP, jika tidak
ada terpaksa saya ganti dengan keluarga yang lain. Soalnya hari ini juga
data-datanya harus saya serahkan ke Pak Lurah”
“Ya
sudahlah Pak mungkin belum jodoh keluarga kami”dengan rasa kecewa.
Kehidupan teruslah berputar begitu
cepat, rumah kaleng itu menjadi saksi betapa pedihnya kehidupan keluarga Romli.
Sepulangnya
memulung, mereka ikut berkecimpung di taman baca. Romli tak pernah ketinggalan
mengikuti kajian anak-anak jalanan yang dipimpin oleh salah satu mahasiswa
ternama di Indonesia. Mahasiswa itu mendirikan taman baca untuk umum, bahkan
membagi jadwal untuk para pemuda-pemuda yang putus sekolah seperti Romli, atau
pengamen-pengamen yang remaja. Disela-sela kegiatan belajar mereka, mahasiswa
itu menyisipkan diskusi kepudilian rakyat untuk negeri. Tujuannya agar
kaum-kaum yang tidak mengunyah pendidikan formal bisa lebih terbuka wawasannya
dan tidak tertinggal derasnya arus informasi. Sedangkan Amir yang masih kecil
memilih antuk bermain petak umput dengan teman-temannya yang lain.
“Diskusi
kali ini bertemakan “Tinta Hitam” semua peserta akan dijabarkan dulu oleh
teman-teman mahasiswa apa yang dimaksud dengan tinta hitam ini” ujar salah satu
mahasiswa yang berambut ikal itu. Tak disangka para anak-anak muda di TBM itu
yang belum paham benar dengan diskusi sangat antusias dan menyimak pemaparan yang
sedang dipaparkan.
“perlu
kita ketahui teman-teman semua bahwa bumi yang kita tinggali ini sudah banyak
dicuri oleh pribuminya, negeri ini sudah penuh dengan tinta hitam tanpa
diimbangi dengan tinta emasnya. Yang dimaksud dengan tinta hitam adalah
peristiwa yang mencoreng nama bangsa salah satunya adalah kasus korupsi. Mereka
para koruptor yang tak sedikit mencuri uang rakyat hingga terliunan tidak
pernah berfikir panjang akan kesejahteraan rakyat. Coba kita pandang
disekeliling kita, masih banyak manusia-manusia yang tak mampu bersekolah, tak
ada berteduh, makan seadanya, ekonomi mencekik, bahkan identitas pengenal pun
tak punya. Sungguh mirisnya Negeri ini hartanya melimpah tapi yang mencurinya
pun lebih berlimpah. Belum lama ini Indonesia dirundung kasus E-KTP, yah dana
untuk pembuatak identitas pengenal kita atau kartu penduduk juga ikut dicuri
oleh para tangan-tangan ghoib yang dengan kasap mata tidak terlihat, tapi nyata
dampaknya mengeroposkan negara ini. Wahai generasi muda 2,3 triliun bukanlah
nilai yang kecil, jika digunakan untuk infrastruktur negara ini bisa membuat
ribuan sekolah, dan rusun yang diperlukan untuk masyarakat yang tidak mampu.
Kini ratusan masyarakat masih terbengkalai menunggu KTP mereka jadi, dan
menunggunya pun bukan dalam jangka waktu yang pendek. Negeri ini semakin
keropos oleh ulah orang-orang zolim seperti para koruptor. Itu baru satu yang
kita bahas belum lagi kasus korupsi pembangunan pusat olahraga Hambaalang di Bogor, dan juga pengadaan
simulator surat izin mengemudi di korps
lalu lintas polri dan perkara korupsi komunikasi radio terpadu di kementrian
kehutanan berturut-turut mengakibatkan kerugian negara. Sungguh malam nasib negeri
ini Nak”.
Diskusi mereka semakin ramai dengan
ditambahkan pemaparan dan argumen-argumen dari beberapa mahasiswa yang laian,
tak kalah Romli pun ikut menambahkan pendapatnya.
“menurut
saya korupsi itu datang dengan diawali minimnya ketidaksukuran dalam hidup” tambah
Romli.
“Iyah
betul Romli, bisa saja korupsi datang dari minimnya rasa syukur yang memancing
keinginan untuk memperkaya diri secara praktis” ucap salah satu mahasiswi
menyauti tanggapan Romli.
Dalam
sanubari mereka bergetar dan semanagat pemudanya pun seolah ingin mambasmi
tikus berjas dan dasi itu. Walau diantara remaja-remaja jalanan ini ada yang menegerti,
tetapi tida dengan nurani mereka yang terketuk akan rintihan negeri ini,
apalagi setelah menegtahui kerugian yang menimpa bumi yang ia tianggali.
“dampak dari ulah tangan-tangan
berkulit api itu sangatlah merugikan masyarakat dan negara. Dari korupsi e-ktp
saja bisa terhitung masalah yang dihadapai oleh masyarakat. Keterlamabatan jadinya
e-ktp menghambat akses masyarakat yang seringkali menggunakan ktp sebagai
persyaratan-persyaratan tertentu. Yang seharusnya anggaran negara yang lain
untuk membenhi negara justru malah akan terpakai untuk menutupi anggaran e-ktp,
dan menambah angka hutang negeri ini. Tindak korupsi mampu menyebabkan sumber daya
alam ini semakin tidak terkendali. Dilihat dari eksploitasi besar-besaran tanpa
memeperhatikan daya dukung lingkungan, sehingga mengakibatkan kerusakan
lingkungan yang amat parah. Seperti penebangan hutan secara liar tanpa adanaya
prosedur yang benar biasanya diiringi dengan kasus sogok menyogok yang
menguntungkan sebelah pihak namun merugikan alam dan masyarakat. Sebenarnya
yang perlu teman-teman ketahui korupsi ini bisa hadir diberbagai lini negeri
ini. Dalam pendidikan dia bisa timbul yah contohnya banyak sekali
instansi-instansi pendidikan yang tercium kasus korupsi, enatah dari dan BOS
lah atau dari anggaran yang laiannya, dampaknya jelas infrastruktur sekolah dan
SDM guru tidak akan berintegritas justru malah merugikan siswa. Mungkin jika di
negeri ini sudah tidak ada yang korupsi Indonesia menjadi negara terkaya di
Asia bahkan mampu mengalahkan Dubai. Tidak ada lagi masyarakat yang putus
sekolah. Jadi kita harus menolak keras dan lawan apa yang dinamakan korupsi.
Sepakat?”
“
SEPAKAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAT!”
Sepulang dari tempat itu Romli
sangat bersemngat, ia sangat menolak keras akan aksi-aksi para koruptor di bumi
tercinta. Angannya hanya satu mampu memberikan yang terbaik untuk Indonesia,
meski saat ini dia belum mampu untuk melanjutkan pendidikannya, tapi ia yakin
bahwa suata saat nanti ada uluran untuknya meraih prestasi dan menjadi orang y
penting di negeri ini. Tekat pertamanya adalah memrangi para koruptor.
“Malam
ini kita harus bermimpi yah dik, menjadi orang yang heba agar negeri ini tidak
menderita lagi seperti sekarang ini.
“Oh
iyah Bang aku ingin buat surat kaleng untuk Pak presiden agar bisa sekolah”
“Emangnya
kamu bisa Dek, kok kamu tau surat kaleng segala sih?”
“Iyah
aku belajar dari kk mahasiswa tadi, tapi nanti Abang yang menulisnya yah, dan
aku yang mengutarakan hehe” dengan wajah yang polos.
Sore
itu pun mereka mulai bercita-cita dan bersemangat menyambut hari-hari
berikutnya sampai akhirnya Romli dikejutkan oleh dua orang polisi yang membawa
Bapaknya ke dalam mobil. Entah apa yang membuat Bapaknya digiring ke kantor
polisi. Tapi Romli percaya bahwa bapaknya sudah berubah dan tidak akan
mengulangi hal yang sama.
Lanjutan nya mana???
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
Delete