Thursday, August 31, 2017

Dunia Literasi (cerpen, Praktik Palsu Di Negri Khayalan)

Praktik Palsu Di Negeri Khayalan

"Negeri hayalan yang dulunya diperebutkan berbagai negara. Kini mulai dikucilkan, diremehkan, dan dianggap tak memiliki mutu yang baik. Negeri ini pun mulai takut dengan kondisi fisik dan kejiwaannya, yang semakin digerogoti penyakit praktik palsu dari manusia berparas palsu. Lalu Ia menangis akibat ulah penghuni negeri yang tak bersyukur ditimang-timang dengan kekayaan alam, harta melimpah, dan budaya yang beragam".


Negeri hayalan manusia dari berbagai penjuru dunia. Negri ini pula yang sempat diperebutkan oleh penjajah, bahkan ramai diperbincangkan oleh kaum-kaum elit asing saat ini. Mereka dengan berani menaruh saham sebanyak mungkin. Lantas siapa nahkoda negri ini?. Apa  hanya terdiam melihat kekayaan dari perut buminya dirongrong begitu saja. Tidak hanya itu, berbagai lapangan kerja dihuni oleh etnis tak dikenal. Mereka sewenang-wenang memerintah di negri ini. Timbul pertanyaan yang besar, Bangsa ini tergadaikan atau dikredit oleh mereka-mereka yang asing, atau dijadikan perdagangan budak untuk para investor itu. Kita hanya dijadikan penonton laga di panggung yang megah. Apakah ada yang diperoleh dari itu semua?. Tak ada, justru penonton hanya dapat getah kegagalan skenarionya saja dari pementasan mereka.

Perdebatan itu semakin panjang, tak jelas arahnya ngalor ngidul, Hilang titik temunya entah kemana. Mungkin diskusi yang mereka bahas terlalu universal terkait cinta tanah air. Para aktivis muda yang mengikuti diskusi tersebut tiada hentinya melancarkan teori dan  argumentasi, tak ada yang mau mengalah, bahkan emosi mereka menyala-nyala. Diskusi yang tadinya bertujuan mencari wawasan baru justru menjadi ajang kepintaran dan bintang organisasi. Bledooor, suara hentakan meja mencengangkan para pemuda yang dianggap aktivis kampus itu. Ternyata itu sebuah keputusan ketua organisasi menghentikan jalannya diskusi dan menunda diskusi sampai pikiran anggotanya tenang dan tidak disulut api kebencian atau gengsi kebodohan. Akhirnya mereka tertawa dan bercanda setelah usai diskusi, sambil memegang rokok dan meminum kopi yang sudah dingin, suara tertawa menggelegar dan suasana ramai terdengar dari sekretariatan mereka, tak ada satu pun dari peserta diskusi membuka kembali buku-buku untuk memeriksa kecacatan diskusi tersebut. Pemandangan seperti ini sudah mengakar dikalangan organisatoris dan mahasiswa lainnya di kampus tersebut. Adu argumen dan cuat-cuat semangat pejuang hanya tersaji pada jalannya diskusi saja, setelah itu hilang terhempas angin.

Jam perkuliahan berlangsung, mahasiswa dari berbagai jurusan membawa buku dan laptop untuk kepentingan belajar, dosen dengan semangatnya mengajarkan ilmu yang ia punya. Di gedung teratas ada kelas-kelas Fakultas Ekonomi, disambung dibawahnya Fakultas Ilmu Sosial Dan Pemerintahan, dan yang paling bawah Fakultas Pendidikan. Di sebrang kiri nampak gedung megah yang dihuni mahasiswa kedokeran tepatnya fakultas Ilmu Kesehatan. Para mahasiswa itu belajar layaknya anjuran taklimutaklim (kitab gundul terkait sopan santun dalam belajar), dan buku mereka dengan berbagai merek dan pengarang yang berbeda. Tampangnya pun relatif rupawan. Ada yang berpenampilan layaknya ustad, vokalis band, kutu buku berkaca mata tebal, bahkan berpenampilan pegawai dinas. Tapi itu semua hanyalah bilik luar mereka saja, padahal setiap dosen menjelaskan mereka berpura-pura memperhatikan tetapi jari-jemarinya mengotak-atik handphon  membalas bbm dari pacar. Ada pula yang sok menyimak dengan memperhatikan buku lantas entah kemana alur pemikirannya. Di lingkungan kantin pun ramai oleh masasiswa yang bolos di jam kuliah. Sesudah jam perkuliahan berakhir, mereka tak dapat menyimpulkan materi yang diajarkan. Tak ada yang masuk di otak mereka, jangankan tuk membaca mencatatnya pun tidak. Itu semua bukanlah masalah bagi mereka, justru variasi dalam belajar, kata salah satu mahasiswa. Mereka tak gnentar apa lagi takut akan nilai jelek atau tidak lulus mata kuliah, semua itu bisa diatasi dengan lembaran nominal. Uang adalah segalanya tak penting bisa menghasilkan mutu atau tidak yang jelas bisa menghasilkan uang.
Masa kuliah pun usai, gelar serjana bertengger di nama belakang para mantan mahasiswa itu, ada SP.d. S.H. S.Hum. S.E. S.Ag. S.Kep. S.Ked. S.Kom. dan masih banyak lagi. Mereka dengan bangga memamerkan hasil mondar-mandirnya di kampus yang bertereng di mata masyarakat. “lihat Nak, kk itu masih muda sudah jadi serjana, contoh yah seperti dia nak” ucap ibu-ibu yang pernah ikut dalam acara prosesi wisuda. mereka gencar mencari pekerjaan di berbagai instansi dengan membawa ijaza dari kampus yang terakreditasi. Dalam jangka beberapa bulan mereka diterima diberbagai instansi. Di sekolah, di rumah sakit ternama, di klinik, di kantor pemerintahan, bahkan ada yang mengikuti partai politik.
Karena tak cukup mempuni dari masing-masing bidang, mereka akhirnya menghalalkan segala cara untuk memuluskan kegiatan dan kerjaannya. Ideologi mereka berkata “segalanya harus menghasilkan uang, itu yang utama”. Sebagian dari mereka menjadi guru, seharusnya mengajar dengan metode yang sesuai dengan siswa malah mengikuti cara dia sendiri, itu masih mending, ada pula yang meninggalkan buku saja di atas meja kelas atau memberikannya pada ketua kelas lalu menyuruh mencatatnya, dan berbasa-basi layaknya pembisnis. “Anak-anak, Bapak ada urusan sebentar yah, kalian menulis sesuai dengan apa yang diperintahkan Bapak”begitulah sabdanya. Pemandangan miris pernah menimpa dunia pendidikan di negeri ini, salah satu guru di antara mereka menjadi reptil yang menakutkan bagi anak-anak. Bagaimana tidak, kasus pedofilia mewarnai dunia pendidikan di negri khayal ini. Mencoreng nama baik seorang guru di wajah pendidikan. Tak satu dua pendidik yang merasa malu dengan aksi predator seks ini.

Fenomena unik pun terjadi di dunia hukum, lulusan-lusalan serjana dengan nilai tinggi namun tak menguasai ilmunya manjadi benalu di dunia hukum. karena terbiasa bolos dan berpacaran ketika jam perkuliahan menjadikannya sebagai hakim yang menentukan pilihan salah dan timpang. Ia tidak bisa memutuskan dengan tegas atas kesalahan para terdakwa, justru membiarkannya tersenyum bebas, dan memponis dengan hukuman tak setimpal. Negrei ini pun semakin kacau oleh ulah para lulusan serjana yang bekerja di dunia medis. dokter yang bertindak semena-mena bahkan dibilang sebagai mal praktik. Berbagai kasus obat oplosan, aborsi bahkan korupsi di rumah sakit menjadi sebuah jalan yang dilegalkan bagi mereka. Tak menghiraukan sumpah medis yang telah diikrarkan ketika duduk di bangku kuliah dulu, timbul lagi pertanyaan apakah mereka hanya sekedar duduk saja melainkan tak belajar, atau mengaktifkan semua indra yang dimiliki tapi arah pikirannya keluar dari rute pembelajaran.
Negri ini semakin marak diperbincangkan dari berbagai mulut, seluruh media ramai memberitakan skandal E-KTP. Tak hanya media lokal saja di media luar pun hebat membicarakan bangsa ini. Terdengar kabar bebrapa anggota DPR terciduk KPK karena diduga menjadi salah satu pelaku korupsi E-KTP. Padahal mereka adalah orang-orang yang terdidik, bergelar sarjana. Pada zaman menjadi mahasiswa, mereka gencar-gencarnya menolak para koruptor, menolok kebijakan yang tidak sesuai dengan dasar negara. Tapi, itu semua musnah ketika kursi jabatan menjadi sahabat kerjanya. Tidak lain tujuannya merauk uang dari negeri hayalan ini. Wajar saja karena ideologinya pun berbicara seperti itu. “uang adalah segalanya”. Kasus korupsi tidak berhenti di sini. Bebrerapa jamaah haji dari negeri kaya raya ini, tak jadi berangkat ke Tanah Suci, lantaran uang mereka di lalab oleh travel yang mereka percayai. Padahal penampilan pegawai travel tersebut berpeci yang melambangkan mualim, tapi hatinya tak seelok mualim. Mereka akhirnya berkiprah dengan ideologi money. Dan sedikit demi sedikit menggerogoti tubuh Negeri Khayal ini.

Negeri hayalan yang dulunya diperebutkan berbagai negara. Kini mulai dikucilkan, diremehkan, dan dianggap tak memiliki mutu yang baik. Negeri ini pun mulai takut dengan kondisi fisik dan kejiwaannya, yang semakin digerogoti penyakit praktik palsu dari manusia berparas palsu. Lalu Ia menangis akibat ulah penghuni negeri yang tak bersyukur ditimang-timang dengan kekayaan alam, harta melimpah, dan budaya yang beragam. Semua aktivitas di neeri ini pun semakin tak wajar dan janggal. Sulit membedakan mana yang hak dan batil, Membedakan halal dan haram, dan mana yang jujur dan tidak jujur. Karena disetiap yang hak ada campurtangan kebatilan, dalam perkara haram memiliki label halal, dan sifat kejujuan diselimuti ketidakjujuran. Karena sudah tidak karuan, negeri ini mengubur tubuhnya sendiri dan membawa seluruh penghuni di dalamnya tuk ikut ke dasar bumi yang sempit. Sedangkan harta-harta mereka dibiarkan tergelepak di atas pelataran.

Kronjo, 31, Agustus 2017




Tentang Penulis

Iqbal Qurnawan, lahir di Tangerang 06-07-1996. Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Tangerang, Jurusan Bahasa dan Satra Indonesia, Tinggal di Pasir Kronjo, Kab. Tangerang Banten. mulai menulis sejak tahun 2015. 
Pesan: Menulislah dengan kontinuitas dan produktivitas, agar hidupmu tidak tersendat                         bisingnya fenomena yang mencuat.

3 comments:

Contoh Surat Lamaran Pekerjaan yang Dibutuhkan Oleh Industri dan Instansi

            Surat lamaran pekerjaan merupakan surat resmi yang ditujukan untuk instansi atau lembaga yang bertujuan untuk mendapatkan pekerj...