Praktik
Palsu Di Negeri Khayalan
"Negeri
hayalan yang dulunya diperebutkan berbagai negara. Kini mulai dikucilkan,
diremehkan, dan dianggap tak memiliki mutu yang baik. Negeri ini pun mulai
takut dengan kondisi fisik dan kejiwaannya, yang semakin digerogoti penyakit
praktik palsu dari manusia berparas palsu. Lalu Ia menangis akibat ulah penghuni
negeri yang tak bersyukur ditimang-timang dengan kekayaan alam, harta melimpah,
dan budaya yang beragam".
Negeri
hayalan manusia dari berbagai penjuru dunia. Negri ini pula yang sempat
diperebutkan oleh penjajah, bahkan ramai diperbincangkan oleh kaum-kaum elit
asing saat ini. Mereka dengan berani menaruh saham sebanyak mungkin. Lantas
siapa nahkoda negri ini?. Apa hanya
terdiam melihat kekayaan dari perut buminya dirongrong begitu saja. Tidak hanya
itu, berbagai lapangan kerja dihuni oleh etnis tak dikenal. Mereka
sewenang-wenang memerintah di negri ini. Timbul pertanyaan yang besar, Bangsa
ini tergadaikan atau dikredit oleh mereka-mereka yang asing, atau dijadikan
perdagangan budak untuk para investor itu. Kita hanya dijadikan penonton laga
di panggung yang megah. Apakah ada yang diperoleh dari itu semua?. Tak ada,
justru penonton hanya dapat getah kegagalan skenarionya saja dari pementasan
mereka.
Perdebatan
itu semakin panjang, tak jelas arahnya ngalor ngidul, Hilang titik temunya
entah kemana. Mungkin diskusi yang mereka bahas terlalu universal terkait cinta
tanah air. Para aktivis muda yang mengikuti diskusi tersebut tiada hentinya melancarkan
teori dan argumentasi, tak ada yang mau
mengalah, bahkan emosi mereka menyala-nyala. Diskusi yang tadinya bertujuan
mencari wawasan baru justru menjadi ajang kepintaran dan bintang organisasi. Bledooor,
suara hentakan meja mencengangkan para pemuda yang dianggap aktivis kampus itu.
Ternyata itu sebuah keputusan ketua organisasi menghentikan jalannya diskusi dan
menunda diskusi sampai pikiran anggotanya tenang dan tidak disulut api
kebencian atau gengsi kebodohan. Akhirnya mereka tertawa dan bercanda setelah
usai diskusi, sambil memegang rokok dan meminum kopi yang sudah dingin, suara
tertawa menggelegar dan suasana ramai terdengar dari sekretariatan mereka, tak
ada satu pun dari peserta diskusi membuka kembali buku-buku untuk memeriksa
kecacatan diskusi tersebut. Pemandangan seperti ini sudah mengakar dikalangan
organisatoris dan mahasiswa lainnya di kampus tersebut. Adu argumen dan
cuat-cuat semangat pejuang hanya tersaji pada jalannya diskusi saja, setelah
itu hilang terhempas angin.
Jam
perkuliahan berlangsung, mahasiswa dari berbagai jurusan membawa buku dan
laptop untuk kepentingan belajar, dosen dengan semangatnya mengajarkan ilmu
yang ia punya. Di gedung teratas ada kelas-kelas Fakultas Ekonomi, disambung
dibawahnya Fakultas Ilmu Sosial Dan Pemerintahan, dan yang paling bawah
Fakultas Pendidikan. Di sebrang kiri nampak gedung megah yang dihuni mahasiswa
kedokeran tepatnya fakultas Ilmu Kesehatan. Para mahasiswa itu belajar layaknya
anjuran taklimutaklim (kitab gundul
terkait sopan santun dalam belajar), dan buku mereka dengan berbagai merek dan
pengarang yang berbeda. Tampangnya pun relatif rupawan. Ada yang berpenampilan
layaknya ustad, vokalis band, kutu buku berkaca mata tebal, bahkan
berpenampilan pegawai dinas. Tapi itu semua hanyalah bilik luar mereka saja,
padahal setiap dosen menjelaskan mereka berpura-pura memperhatikan tetapi jari-jemarinya
mengotak-atik handphon membalas bbm dari
pacar. Ada pula yang sok menyimak dengan memperhatikan buku lantas entah kemana
alur pemikirannya. Di lingkungan kantin pun ramai oleh masasiswa yang bolos di
jam kuliah. Sesudah jam perkuliahan berakhir, mereka tak dapat menyimpulkan
materi yang diajarkan. Tak ada yang masuk di otak mereka, jangankan tuk membaca
mencatatnya pun tidak. Itu semua bukanlah masalah bagi mereka, justru variasi
dalam belajar, kata salah satu mahasiswa. Mereka tak gnentar apa lagi takut
akan nilai jelek atau tidak lulus mata kuliah, semua itu bisa diatasi dengan
lembaran nominal. Uang adalah segalanya tak penting bisa menghasilkan mutu atau
tidak yang jelas bisa menghasilkan uang.
Masa
kuliah pun usai, gelar serjana bertengger di nama belakang para mantan mahasiswa
itu, ada SP.d. S.H. S.Hum. S.E. S.Ag. S.Kep. S.Ked. S.Kom. dan masih banyak lagi.
Mereka dengan bangga memamerkan hasil mondar-mandirnya di kampus yang bertereng
di mata masyarakat. “lihat Nak, kk itu masih muda sudah jadi serjana, contoh
yah seperti dia nak” ucap ibu-ibu yang pernah ikut dalam acara prosesi wisuda. mereka
gencar mencari pekerjaan di berbagai instansi dengan membawa ijaza dari kampus
yang terakreditasi. Dalam jangka beberapa bulan mereka diterima diberbagai
instansi. Di sekolah, di rumah sakit ternama, di klinik, di kantor
pemerintahan, bahkan ada yang mengikuti partai politik.
Karena
tak cukup mempuni dari masing-masing bidang, mereka akhirnya menghalalkan
segala cara untuk memuluskan kegiatan dan kerjaannya. Ideologi mereka berkata “segalanya
harus menghasilkan uang, itu yang utama”. Sebagian dari mereka menjadi guru,
seharusnya mengajar dengan metode yang sesuai dengan siswa malah mengikuti cara
dia sendiri, itu masih mending, ada pula yang meninggalkan buku saja di atas
meja kelas atau memberikannya pada ketua kelas lalu menyuruh mencatatnya, dan
berbasa-basi layaknya pembisnis. “Anak-anak, Bapak ada urusan sebentar yah,
kalian menulis sesuai dengan apa yang diperintahkan Bapak”begitulah sabdanya. Pemandangan
miris pernah menimpa dunia pendidikan di negeri ini, salah satu guru di antara
mereka menjadi reptil yang menakutkan bagi anak-anak. Bagaimana tidak, kasus
pedofilia mewarnai dunia pendidikan di negri khayal ini. Mencoreng nama baik
seorang guru di wajah pendidikan. Tak satu dua pendidik yang merasa malu dengan
aksi predator seks ini.
Fenomena
unik pun terjadi di dunia hukum, lulusan-lusalan serjana dengan nilai tinggi
namun tak menguasai ilmunya manjadi benalu di dunia hukum. karena terbiasa
bolos dan berpacaran ketika jam perkuliahan menjadikannya sebagai hakim yang
menentukan pilihan salah dan timpang. Ia tidak bisa memutuskan dengan tegas
atas kesalahan para terdakwa, justru membiarkannya tersenyum bebas, dan memponis
dengan hukuman tak setimpal. Negrei ini pun semakin kacau oleh ulah para lulusan
serjana yang bekerja di dunia medis. dokter yang bertindak semena-mena bahkan
dibilang sebagai mal praktik. Berbagai kasus obat oplosan, aborsi bahkan korupsi
di rumah sakit menjadi sebuah jalan yang dilegalkan bagi mereka. Tak
menghiraukan sumpah medis yang telah diikrarkan ketika duduk di bangku kuliah
dulu, timbul lagi pertanyaan apakah mereka hanya sekedar duduk saja melainkan
tak belajar, atau mengaktifkan semua indra yang dimiliki tapi arah pikirannya
keluar dari rute pembelajaran.
Negri
ini semakin marak diperbincangkan dari berbagai mulut, seluruh media ramai
memberitakan skandal E-KTP. Tak hanya media lokal saja di media luar pun hebat
membicarakan bangsa ini. Terdengar kabar bebrapa anggota DPR terciduk KPK
karena diduga menjadi salah satu pelaku korupsi E-KTP. Padahal mereka adalah
orang-orang yang terdidik, bergelar sarjana. Pada zaman menjadi mahasiswa,
mereka gencar-gencarnya menolak para koruptor, menolok kebijakan yang tidak
sesuai dengan dasar negara. Tapi, itu semua musnah ketika kursi jabatan menjadi
sahabat kerjanya. Tidak lain tujuannya merauk uang dari negeri hayalan ini.
Wajar saja karena ideologinya pun berbicara seperti itu. “uang adalah segalanya”.
Kasus korupsi tidak berhenti di sini. Bebrerapa jamaah haji dari negeri kaya
raya ini, tak jadi berangkat ke Tanah Suci, lantaran uang mereka di lalab oleh
travel yang mereka percayai. Padahal penampilan pegawai travel tersebut berpeci
yang melambangkan mualim, tapi hatinya tak seelok mualim. Mereka akhirnya
berkiprah dengan ideologi money. Dan sedikit
demi sedikit menggerogoti tubuh Negeri Khayal ini.
Negeri
hayalan yang dulunya diperebutkan berbagai negara. Kini mulai dikucilkan,
diremehkan, dan dianggap tak memiliki mutu yang baik. Negeri ini pun mulai
takut dengan kondisi fisik dan kejiwaannya, yang semakin digerogoti penyakit
praktik palsu dari manusia berparas palsu. Lalu Ia menangis akibat ulah penghuni
negeri yang tak bersyukur ditimang-timang dengan kekayaan alam, harta melimpah,
dan budaya yang beragam. Semua aktivitas di neeri ini pun semakin tak wajar dan
janggal. Sulit membedakan mana yang hak dan batil, Membedakan halal dan haram,
dan mana yang jujur dan tidak jujur. Karena disetiap yang hak ada campurtangan
kebatilan, dalam perkara haram memiliki label halal, dan sifat kejujuan
diselimuti ketidakjujuran. Karena sudah tidak karuan, negeri ini mengubur
tubuhnya sendiri dan membawa seluruh penghuni di dalamnya tuk ikut ke dasar
bumi yang sempit. Sedangkan harta-harta mereka dibiarkan tergelepak di atas
pelataran.
Kronjo, 31, Agustus
2017
Tentang Penulis
Iqbal
Qurnawan, lahir di Tangerang 06-07-1996. Mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Tangerang, Jurusan Bahasa dan Satra Indonesia, Tinggal di Pasir Kronjo, Kab. Tangerang Banten. mulai menulis sejak tahun 2015.
Pesan: Menulislah dengan kontinuitas dan produktivitas, agar hidupmu tidak tersendat bisingnya fenomena yang mencuat.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteKeren pak 👍
ReplyDeleteTerima kasih sifa dan mput
ReplyDelete